Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan oleh seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat dan wartawan, Paulus Agustinus Kafiar. Putusan dengan Nomor 33/PUU-XII/2014 ini dibacakan oleh Ketua MK Hamdan Zoelva pada Rabu (23/7) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Kontitusi Muhammad Alim, Pemohon berkeberatan dengan Pasal 12 huruf c UU Otsus Provinsi Papua mengenai syarat pendidikan serendah-rendahnya “sarjana atau setara”. Mahkamah menilai pentingnya pendidikan minimal sampai pada jenjang sarjana dalam pengisian jabatan kepala daerah di Provinsi Papua. Pengisian jabatan kepala daerah pada Provinsi Papua tidak dapat dilepaskan dari tujuan dibentuknya Provinsi Papua sebagai daerah otonomi khusus. Percepatan pembangunan daerah Provinsi Papua membutuhkan pemikiran yang mendasar, matang, komprehensif dan berdimensi jauh ke depan.
“Dengan kekhususan dan keragaman yang dimiliki serta kompleksitas persoalan pembangunan, baik fisik maupun sumber daya manusia, pada Provinsi Papua, dibutuhkan kepala daerah yang memiliki wawasan yang luas dan menjangkau ke depan, memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni agar mampu berpikir dan bertindak secara holistik untuk membangun, mensejahterakan, dan memperkokoh ketahanan Provinsi Papua dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.
Alim juga memaparkan syarat minimal berpendidikan sarjana berlaku secara sama kepada semua warga Provinsi Papua yang berkehendak untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Tidak ada pembedaan antara satu dengan lainnya. Selain itu, lanjut Alim, perbedaan pengaturan mengenai syarat pendidikan minimal sebagaimana diatur dalam UU Otsus Provinsi Papua tidak dapat diperlakukan secara sama dengan pengaturan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang syarat pengisian jabatan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah termasuk Undang-Undang khusus seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Perbedaan ini bukanlah merupakan pengaturan yang bersifat diskriminatif sebab masing-masing daerah memiliki keragaman dan karakteristik yang berbeda satu sama lain. Pengaturan yang berbeda ini merupakan pilihan kebijakan hukum yang diambil berdasarkan kebutuhan khusus masing-masing daerah dalam hal ini Provinsi Papua untuk kebaikan masyarakat Provinsi Papua serta percepatan pembangunan di Provinsi Papua dalam menghadapi era global yang sangat kompetitif. “Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Alim. (Lulu Anjarsari/mh)