Undang-Undang PNBP maupun Undang-Undang Telekomunikasi tidak dapat menyelesaikan secara tuntas mengenai tarif PNBP. Oleh karenanya pembentuk undang-undang, baik dalam Undang-Undang PNBP maupun di dalam Undang-Undang Telekomunikasi paralel dua-duanya memberikan delegasi pada hal-hal yang sifatnya teknis dan koridor yang sudah dipasang bahwa itu diatur di dalam peraturan pemerintah.
Hal ini disampaikan oleh M. Fachruddien selaku Ahli Pemerintah dalam sidang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (UU PNBP) dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi) yang digelar MK pada Selasa (22/7) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 12/PUU-XIII/2014 ini dimohonkan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).
“Jika ada kekhawatiran apakah peraturan pemerintah itu akan semena-mena, tidak. Pasal 3 dari Undang-Undang PNBP memberikan rambu-rambu bahwa dampak penugasan terhadap, artinya PP tadi itu harus mempertimbangan dampak penugasan terhadap masyarakat, kegiatan usaha, biaya penyelenggaraan kegiatan pemerintah sehubungan dengan jenis penerimaan PNBP,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Menurut Fachruddien, terkait tarif memang seharusnya diatur lebih lanjut dalam PP. Nantinya seluruh PP terkait pada tarif dan jenis penerimaan PNBP memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan pemerintah sehubungan dengan jenis penerimaan negara bukan pajak yang bersangkutan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat. “Dari sini berarti sudah diwaspadai sedemikian rupa oleh pembentuk undang-undang bahwa PP-PP PNBP itu berikutnya sangat dimungkinkan, dan bahkan itu merupakan conditio sine qua non, memang seharusnya seperti itu karena di dalam rangka untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan masyarakat yang begitu cepat,” ungkapnya.
Sementara, Ahli Pemerintah lainnya, Jonathan Parapak menjelaskan UU Telekomunikasi adalah yang secara tegas telah memperluas partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Dengan maraknya partisipasi masyarakat, maka berbagai aspek yang harus diatur untuk menjamin mutu dan akses layanan, termasuk di daerah terpencil, pemanfaatan teknologi tepat guna, pemanfaatan sumber daya alam terbatas seperti frekuensi dan orbit satelit secara optimal. Oleh karena kompleksnya pengaturan dan berbagai aspek seperti interkoneksi, persyaratan teknis, teknologi, maka sangat wajar adanya kontribusi para penyelenggara untuk optimalisasi dan peningkatan mutu layanan telekomunikasi bagi masyarakat. Di Indonesia diatur dengan kontribusi dalam bentuk penyediaan prasarana telekomunikasi atau kontribusi dana yang diatur melalui peraturan pemerintah.
“Ketentuan pasal a quo sangat penting yang selanjutnya diatur dengan peraturan pemerintah. Pengaturan dan optimalisasi pemanfaatan frekuensi yang terbatas ini sangat kompleks dan memerlukan keahlian serta peralatan yang canggih. Dengan perkembangan saat-saat ini, kita lihat bagaimana frekuensi bisa dimanfaatkan dengan berbagai cara dengan peralatan yang canggih. Oleh karena itu, mustahil untuk menetapkan PNPB frekuensi pada tingkat undang-undang bahkan demi kecepatan penyesuaian mengikuti perkembangan teknologi sebaiknya ditetapkan pada tingkat keputusan menteri,” paparnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya Pradnanda Berbudy, dkk, mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNBP serta Pasal 16, Pasal 26 dan pasal 34 UU Telekomunikasi. Menurut Pemohon, kedua undang-undang tersebut adalah dasar hukum bagi Pemerintah melakukan pungutan bukan pajak. Pradnanda menjelaskan ada tiga penerimaan yakni Universal Service Obligation, biaya penyelenggaran telekomunikasi, dan frekuensi.
Sebagaimana diketahui, Pasal 2 UU PNBP menyatakan,
(1) Kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak meliputi: a. penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah; b. penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam; c. penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan; d. penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah; e. penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi; f. penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah; g. penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri.
(2) Kecuali jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditetapkan dengan Undang-undang, jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang tercakup dalam kelompok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum tercakup dalam kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya Pasal 3 UU PNBP menyatakan,
(1) Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dengan memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah sehubungan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat.
(2) Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang menetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan.
Adapun Pasal 16 UU Telekomunikasi menyatakan,
(1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.
(2) Kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain.
(3) Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26 UU Telekomunikasi menyatakan,
(1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosentase pendapatan.
(2) Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya Pasal 34 UU Telekomunikasi menyebutkan,
(1) Pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar biaya penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi.
(2) Pengguna orbit satelit wajib membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.
(3) Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(Lulu Anjarsari/mh)