Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan untuk mendengarkan laporan dari KPU dan Bawaslu terkait tindak lanjut dari putusan sela MK di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang diajukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Sidang untuk perkara ini digelar MK pada Senin (21/7) di Ruang Sidang Panel MK.
Dalam sidang tersebut, KPU Provinsi Sulawesi Tenggara melaporkan telah melakukan penghitungan suara ulang di 86 TPS se-Kota Kendari sesuai dengan putusan MK sebelumnya. Namun, Tina Dian Ekawati Taridala selaku Komisioner KPU Provinsi Sulawesi Tenggara menjelaskan ketika akan ditetapkan di provinsi, PDIP meminta dihitung ulang surat suara di 20 TPS, karena pada waktu proses penghitungan sebelumnya tidak menyertakan surat suara sah dan tidak sah. “Dalam penghitungan itu terdapat perubahan angka sebanyak empat saja. Tetapi perubahan suara ini tidak mempengaruhi perolehan kursi. Hanya empat saja, itu pun sebenarnya empat itu hanya salah mencantumkan. Seharusnya milik caleg tertentu, tetapi ditulis di dalam partai yang bersangkutan,” ujarnya.
Perolehan hasil penghitungan suara ulang di lima kelurahan di Kecamatan Kadia, Kendari untuk PDIP, yakni untuk Kelurahan Bende dari 244 menjadi 252 suara, Kelurahan Kadia dari 255 menjadi 256 uara, Kelurahan Wowangu dari 165 menjadi 163 suara, Kelurahan Pondambea tetap 175 suara, dan Kelurahan Anaiwoi dari 70 menjadi 68 suara.
Dalam sidang sebelumnya, MK memerintahkan kepada KPU Provinsi Sulawesi Tenggara in casu KPU Kota Kendari untuk melakukan penghitungan surat suara ulang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD khusus untuk perolehan suara anggota DPRD Provinsi di seluruh TPS di Kecamatan Kadia, Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Mahkamah mempertimbangkan, terkait adanya pertemuan yang dilakukan oleh jajaran Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) se-Kecamatan Kadia dengan tujuan untuk melakukan perubahan terhadap hasil rekapitulasi, Mahkamah menilai hal itu jelas-jelas telah melanggar asas penyelenggaraan Pemilu yaitu asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, mandiri, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.
Selain itu, tidak lengkapnya bukti Formulir Model C dan Model D yang seharusnya dijadikan alat bukti otentik oleh Termohon (KPU) dan adanya penulisan perolehan suara masing-masing partai politik dalam Formulir Model C dan Model D yang tidak jelas angkanya menjadikan keadaan yang menyebabkan tidak dapat dipastikan perolehan suara masing-masing partai politik di Kecamatan Kadia, sehingga mengaburkan suara rakyat yang telah diberikan kepada masing-masing partai politik. Tindakan tersebut telah jelas-jelas melanggar prinsip dasar kode etik penyelenggara Pemilu yaitu bertindak mandiri, jujur, adil, non-partisan, dan imparsial.
Terlebih lagi, adanya tindakan Termohon yang mengabaikan rekomendasi Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara telah melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf k UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, bahwa salah satu tugas dan wewenang KPU Provinsi dalam penyelenggaraan Pemillu Legislatif adalah menindaklanjuti dengan segera rekomendasi Bawaslu Provinsi atas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran pemilihan. Menurut Mahkamah, tindakan jajaran penyelenggara Pemilu khususnya PPK dan PPS di Kecamatan Kadia yang tidak independen, tidak hati-hati, dan melanggar sumpah/janji serta kode etik penyelenggara Pemilu tersebut pada akhirnya telah menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada seluruh penyelenggara Pemilu di Provinsi Sulawesi Tenggara. (Lulu Anjarsari/mh)