Hakim agung ad hoc tindak pidana korupsi (tipikor) Krisna Harahap merasakan adanya diskriminasi antara hakim ad hoc dan hakim biasa, sebagai dampak atas lahirnya Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Guru besar Ilmu Hukum Sekolah Tinggi Hukum Bandung itu menuturkan hakim ad hoc tidak tepat dikatakan ’sementara’. “Arti yang tepat untuk ad hoc adalah khusus, sesuatu yang dibentuk untuk satu tujuan saja,” ujarnya sebagai saksi dalam sidang yang teregistrasi nomor 32/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Senin (21/7).
Alasan keberadaan hakim ad hoc, imbuhnya, dipertegas oleh UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor yang menyatakan keberadaan hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya sejalan dengan kompleksitas tipikor, baik yang menyangkut modus operandi, pebuktian, maupun luasnya cakupan tipikor.
Oleh karena itu, ia menilai pihak yang terus menghembuskan bahwa makna ad hoc adalah sementara, adalah pihak yang tidak paham makna harfiah dari ad hoc atau mereka yang sengaja memelintir makna kata itu dalam rangka menghambat pemberantasan tipikor. Kelompok kontra pemberantasan korupsi, menurutnya melakukan tindakan diskriminasi antara hakim biasa dan hakim khusus kendati Pasal 21 ayat 2 UU No. 46/2009 dengan tegas menyatakan hak keuangan dan administratif diberikan tanpa membedakan kedudukan hakim.
“Yang kami alami, di antaranya besaran gaji hakim biasa dan hakim khusus sengaja dibedakan. Walaupun penghasilan hakim ad hoc merupakan penghasilan tetap yang dibebankan kepada APBN, gaji mereka dipotong sebesar 16,5%. Mereka juga tidak diberikan uang pensiun, bandingkan dengan uang pesangon yang diberikan kepada seorang buruh. Sungguh malang, para hakim khusus yang memasukkan triliunan rupiah kepada negara melalui putusannya lebih rendah dari buruh atau hakim biasa,” tuturnya.
Diskriminasi sengaja dipelihara sehingga merembet ke kesejahteraan hakim. Ia mengimbuhkan, kendati hakim ad hoc merupakan pemeriksa, pengadil, dan pemutus perkara, tapi mereka tidak pantas dipanggil ‘Yang Mulia’. Untuk membedakan dengan hakim biasa, mereka dipanggil ‘Yang Terhormat’.
Lebih lanjut, ia menjelaskan Pasal 31 ayat (1) UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan tegas menyatakan hakim di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada di badan peradilan di bawah MA. Ketua MA kemudian mempertegas ketentuan itu dengan menyatakan bahwa hakim ad hoc adalah pejabat negara. Kemudian diundangkan UU Aparatur Sipil Negara sehingga menimbulkan permasalahan kontra produktif karena UU ini sebetulnya hanya mengatur aparatur negara yang berstatus PNS di lingkungan eksekutif sehingga UU tersebut bertentangan dengan konstitusi.
Terakhir, ia mempertanyakan apabila hakim ad hoc bukan pejabat negara, lalu apa statusnya? “Kalau bukan atas nama negara, atas nama siapa putusan diputus oleh hakim? Sah atau tidak putusan tersebut?”.
Sebelumnya, sebelas orang hakim ad hoc yang tersebar di seluruh Indonesia menilai UU Aparatur Sipil Negara imperfect karena materi muatan yang diatur berkenaan dengan aparatur sipil negara yang berada dalam domain eksekutif, sedangkan hakim ad hoc termasuk dalam domain yudikatif dan sudah diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman.
Selain itu, dalam Pasal a quo, hakim ad hoc tidak termasuk pejabat negara. Dampaknya, menurut Pemohon, setiap proses pemeriksaan dan produk putusan pengadilan khusus yang majelis hakimnya beranggotakan hakim ad hoc menjadi ilegal dan batal demi hukum karena tidak memiliki legitimasi dan legalitas kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara.
“Konsekuensi lain adalah apabila hakim ad hoc menerima gratifikasi dari para pihak yang berperkara, para hakim ad hoc tersebut tidak diwajibkan untuk lapor karena tidak termasuk dalam pejabat negara,” ujar Pemohon dalam sidang perdana, Senin (7/4) silam.
Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 berbunyi:
Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu: (e) Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 122 huruf e UU Aparatur Sipil Negara khususnya frasa “kecuali hakim ad hoc” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pemohon juga meminta MK menyatakan hakim ad hoc adalah pejabat negara pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. (Lulu Hanifah/mh)