Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) kembali diajukan untuk diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (21/7). Perkara yang diregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 57/PUU-XIII/2014 ini dimohonkan oleh Supriyono yang merupakan perseorangan warga negara yang berasal dari Tangerang, Banten.
Dalam sidang perdana, Pemohon tanpa diwakili oleh kuasa hukum menerangkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 4 ayat (2) huruf e UU PPh. Pasal 4 ayat (2) UU PPh menyatakan “Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:...(e) penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah”. Menurut Pemohon, pasal tersebut telah memberikan kewenangan Pemerintah untuk memungut Pajak dengan pemahaman yang sangat luas dan berpotensi menjadikan suatu aturan yang mengatur hal yang sama berlawanan satu sama lain. Terlebih lagi Pemohon merasa bahwa ketentuan tersebut tidak menjelaskan secara jelas aturan dalam menentukan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sehingga akan menghilangkan hak Pemohon dalam menentukan penghasilan kena pajak dengan memperhitungkan modal dan biaya usaha yang dikeluarkan.
Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena menganggap ketentuan tersebut bersifat multitafsir atau berpotensi memunculkan kekeliruan tafsir, dan mengurangi hak konstitusional Pemohon. Kekeliruan tafsir ini menurut Pemohon tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2014 yang membedakan badan usaha beromset s.d Rp.4.800.000.000,- dengan badan usaha beromset di atas Rp.4.800.000.000,-. Penafsiran ini menurut Pemohon menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan karena warga negara di level atas dirasa mampu menghitung pajak dengan benar, sehingga perlakuan pajaknya tidak final dan dapat melakukan kompensasi atas kerugian usaha sampai periode tertentu. Sementara itu, warga negara di level bawah dirasa tidak mampu menghitung pajak dengan benar sehingga perlakukan pajaknya final dan tidak dapat melakukan kompensasi kerugian. Padahal, menurut pendapat Pemohon, kerugian/kebangkrutan/pailit yang diderita oleh suatu badan usaha dibebaskan dari pajak dan atas kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan di kemudian waktu yang batasannya diatur.
Dengan alasan tersebut, Pemohon meminta MK mengabulkan permohonan pengujian Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. “Pasal ini merugikan hak konstitusional pemohon yang dijamin oleh UUD 1945 untuk itu diharapkan dapat mengembalikan hak konstitusional pemohon yang dijamin oleh konstitusi,” ungkapnya.
Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dengan didampingi Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Anwar Usman memberikan saran perbaikan permohonan. Menurut para hakim, Pemohon menitikberatkan pada keberatan Pemohon mengenai PP Nomor 13 Tahun 2013 yang merupakan ‘pelaksana’ dari Pasal 4 ayat (2) huruf e UU PPh. “Harus adanya konsistensi, yang dikutip adalah PP bukan UU padahal yang minta diuji adalah Pasal 4 ayat (2) huruf e UU PPh, tampak yang banyak diuraikan sebagai dalil adalah PP-nya. Di posita harus dikaitkan mengenai kerugian yang dialami, bukan hanya uraian mengenai implikasi norma,” paparnya.
Sementara Maria menjelaskan bahwa Pemohon harus menjelaskan mengenai kerugian hukumnya lebih lanjut.”Anda dirugikan karena apa? Misalnya anda UKM dan harus terkena pajak yang tinggi. Kelihatannya Anda melihat pada PP yang merupakan pelaksanaan dari UU. Kalau anda mengatakan PP-nya yang bertentangan, maka Anda harus mengajukan perkara ke Mahkamah Agung. Kalau di MK, yang diuji adalah normanya,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)