Aturan yang menyatakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus mundur dari statusnya apabila ingin menjadi pejabat publik dinilai inkonstitusional. Hal tersebut yang mendorong Eduard Nunaki, PNS asal Papua untuk menguji materi Pasal 119 dan 123 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Pemohon merasa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Undang Undang Dasar Tahun 1945.
"Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya sebagai warga negara dirugikan dengan UU tersebut karena hak politiknya tidak diberikan ruang," ujarnya dalam sidang perdana perkara nomor 56/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Kamis (17/7).
Menurut Pemohon, dirinya selaku PNS dan warga negara memiliki hak yang sama dengan warga negara lain untuk ikut berperan dalam pemerintahan. Khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat, ia mengaku tidak dapat membayangkan seperti apa pemerintahan apabila calon pemimpin pemerintahan tidak pernah bekerja di jajaran birokrasi.
Pasal 119 Undang-Undang Nomor No. 5 Tahun 2014
"Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon,"
Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang Nomor No. 5 Tahun 2014
“Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon”
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN bertentangan dengan konstitusi. "Jika tidak untuk seluruh Indonesia, maka untuk Papua dan Papua Barat diharap menjadi pertimbangan," imbuhnya.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim Panel yang diketuai Wakil Ketua MK Arief Hidayat, didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Ahmad Fadlil Sumadi menyarankan Pemohon untuk mempertajam pokok permohonan dan memperkuat kedudukan hukumnya. "Untuk legal standing, Pemohon perlu menguraikan jabatan Pemohon pada posisi apa terkait Pasal 119, diihubungkan dengan kerugian konstitusional Saudara," ujar Wahiduddin.
Sedangkan Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil menilai secara sistematika, Pemohon belum memasukkan petitum, meskipun petitum ada secara materiil. "Saudara masih mencampur aduk antara kesimpulan dan petitum. Supaya mudah, minta pada kepaniteraan, contoh permohonan pada umumnya," cetusnya. (Lulu Hanifah/mh)