Tersangka kasus Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Pengelolaan Keuangan pada Dinas Pekerjaan Umum Faisal menggugat sejumlah norma pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, Pemohon yang diwakili Kuasa Hukumnya Arfa Gunawan menguji materi Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 huruf c, dan Pasal 34 ayat (1) UU BPK, serta Pasal 13 UU Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Menurut Pemohon, frasa ditetapkan dengan keputusan BPK dalam Pasal 10 ayat (2) UU BPK memiliki penafsiran yang tidak pasti sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. “Penafsiran yang tidak pasti terkait siapa yang berhak menentukan ada atau tidaknya kerugian negara dan bagaimana mekanisme untuk menentukan ada-tidaknya kerugian tersebut,” ujarnya dalam persidangan perkara teregistrasi nomor 54/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Rabu (16/7).
Lebih lanjut, Pasal 13 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara terdapat kata dapat. Hal tersebut, menurut Pemohon, berpotensi menimbulkan standar pemberlakuan yang ganda, sehingga memunculkan ketidakpersamaan di hadapan hukum. “BPK RI bisa saja menerapkan pemeriksaan investigatif pada suatu kasus tertentu, namun tidak dalam kasus yang lain,” imbuhnya.
Kata dapat dalam Pasal 13 tersebut, bisa juga ditafsirkan sebagai sebuah kebolehan untuk mengungkap kerugian negara, menggunakan mekanisme pemeriksaan jenis lain selain dari mekanisme pemeriksaan investigatif. Bahkan, kata tersebut bisa ditafsirkan sebagai sebuah kebolehan bagi BPK RI untuk mengungkap kerugian negara tanpa perlu melakukan sebuah mekanisme pemeriksaan.
Selain itu, pada Pasal 11 huruf c UU BPK yang menyatakan BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara atau kerugian daerah, Pemohon menilai norma tersebut dapat ditafsirkan ganda. Pertama, BPK RI berwenang menunjuk pihak eksternal sebagai ahli dalam sidang, misalnya kasus kerugian negara atau tindak pidana korupsi. Kedua, BPK berwenang menunjuk pihak internal dari dalam pegawai BPK sendiri sebagai ahli dalam persidangan. “Dalam kasus yang Pemohon hadapi pada saat kemarin, Yang Mulia. Bahwa sidang pada saat di tingkat pembuktiannya, BPK menghadirkan dari internal,” ungkapnya.
Hal tersebut dinilai sangat merugikan hak konstitusional Pemohon lantaran BPK telah melanggar asas objektivitas. Pasalnya, dalam kasus yang dihadapi oleh Pemohon, posisi BPK adalah sebagai auditor. Namun, di sisi lain, jaksa menghadirkan BPK di persidangan untuk memberikan keterangan ahli.
Adapun Pasal 10 ayat (2) UU BPK menyatakan:
Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
Pasal 11 huruf c UU BPK menyatakan:
Keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.
Pasal 34 ayat (1) UU BPK menyatakan:
BPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dibantu oleh Pelaksana BPK, yang terdiri atas Sekretariat Jenderal, unit pelaksana tugas pemeriksaan, unit pelaksana tugas penunjang, perwakilan, Pemeriksa, dan pejabat lain yang ditetapkan oleh BPK sesuai dengan kebutuhan.
Sedangkan Pasal 13 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyatakan:
Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
Pemohon sendiri ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Sumatra Utara dalam kasus Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Pengelolaan Keuangan pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang Tahun Anggaran 2008, 2009, dan 2010, tertanggal 3 Mei 2012. Kemudian Pemohon disidik dan dituntut di pengadilan dengan dasar alat bukti ikhtisar LHP yang berasal dari BPK Perwakilan Sumatera Utara. (Lulu Hanifah/mh)