Sidang kedua uji Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) terhadap UUD 1945 kembali digelar pada Selasa (15/7) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang perkara yang terdaftar dengan nomor 44/PUU-XII/2014 ini mengagendakan perbaikan permohonan.
Dalam sidang tersebut, Doni Istyanto Hari Mahdi dan Muhammad Umar selaku pemohon, menjelaskan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan saran majelis hakim konstitusi pada sidang sebelumnya. Perbaikan tersebut, di antaranya menambah petitum dan memperbaiki kedudukan pemohon. “Kami memperbaiki kedudukan pemohon menjadi perseorangan kewarganegaraan,” ujar pemohon di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Usai mengesahkan alat bukti, Majelis Hakim menjelaskan bahwa permohonan Pemohon akan diajukan ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), sebelum dibawa ke sidang pleno. “Kami baru akan memutuskan apakah permohonan pemohon dapat dibuka sidang pleno setelah membawa ke RPH,” jelasnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan selama ini menjadi sia-sia dengan berlakunya ketentuan Penjelasan Pasal 1 angka 1 UU PTPK karena pelaku tidak dapat dijerat dengan pidana maksimal. Penjelasan Pasal 1 angka 1 UU PTPK menyatakan: “Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Para pemohon pernah melaporkan tindak pidana korupsi pengadaan alat rontgen portable untuk daerah tertinggal pada tahun 2007 di Kementerian Kesehatan dengan nilai kerugian negara sekitar Rp 9,48 Miliar dan telah diputus dengan putusan pengadilan memvonis 3 (tiga) tahun penjara bagi terdakwa. Namun hukuman tersebut, terganjal Penjelasan Pasal 1 angka 1 UU tersebut karena merupakan sebuah ironi bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Ketentuan itu dapat menjadi cara bagi koruptor untuk mendapatkan keringanan karena pelaku sadar bahwa ketentuan hukuman maksimal dan/atau pidana mati tidak dapat diterapkan. Hal tersebut menyebabkan tidak munculnya efek jera bagi seseorang dan/atau penyelenggara negara yang akan melakukan tindak penyimpangan berupa korupsi. Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan Penjelasan Pasal 1 angka 1 UU tersebut frasa “yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi” inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (Lulu Anjarsari/mh)