Sidang pengujian UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum - Perkara No. 42/PUU-XII/2014 - digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (14/7) siang. Agenda sidang adalah perbaikan permohonan.
“Terima kasih Pak, atas kesempatan yang diberikan oleh Yang Mulia. Kami menyampaikan bahwa di dalam perbaikan permohonan terdapat penyempurnaan petitum. Kami sudah mengikuti saran-saran Bapak Hakim. Kalau boleh, kami ingin memberikan sedikit penjelasan atas pertanyaan Bapak Hakim waktu itu,” kata Soetopo Ronodiharjo selaku Pemohon Perkara No. 42 kepada Majelis Hakim.
“Yang Mulia, kalau umpamanya appraisal, NJOP, dan sebagainya dianggap tidak dapat dipercaya dan tidak dapat dipakai sebagai alat untuk menentukan besarnya ganti rugi, lalu pakai apa? Kalau tidak salah Bapak Hakim menyatakan demikian,” ujar Soetopo.
Pada kesempatan itu Soetopo ingin mengemukakan bahwa masalah-masalah yang rapuh itu yang diistilahkan sebagai instrumen kemasyarakatan, bila dipakai tetap saja akan rapuh. Ibarat sebuah bangunan yang didirikan di sebuah pondasi yang rapuh, bangunannya sendiri juga akan tentu rapuh juga.
“Dalam hal ini kami lebih cenderung mempergunakan cara yang lama, sebagaimana dikemukakan dalam Perpres No. 36 Tahun 2005 Pasal 1 angka 11 yang bunyinya sebagai berikut, ‘Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah’, ” papar Soetopo.
Definisi tersebut, menurut Pemohon, jauh lebih konkret daripada definisi yang diberikan oleh UU No. 2 Tahun 2012. Menurut hemat Pemohon, UU No. 2 Tahun 2012 itu sangat rawan multitafsir dan tidak memberikan kepastian hukum.
(Nano Tresna Arfana/mh)