Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia mempunyai titik singgung yang kuat dengan pola hidup bangsa Indonesia. Tidak hanya itu, hukum Islam dalam beberapa pengaturan tertentu juga telah dijadikan referensi hukum dalam bernegara. Dalam hal ini, hukum Islam tidak dipandang sebagai entitas agama semata-mata, melainkan dalam dimensi amaliahnya hukum Islam telah menjadi bagian tradisi masyarakat yang dinilai sakral, sehingga secara empiris hukum Islam disebut sebagai hukum yang hidup (the living law).
“Membicarakan hukum Islam menjadi hal yang sangat penting, terlebih jika dikaitkan dengan kedudukannya sebagai salah satu dari tiga pilar hukum, yakni sistem hukum Barat, hukum Adat, dan hukum Islam, yang selama ini turut mewarnai dan mempengaruhi pembentukan hukum nasional,” ungkap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva saat menjadi narasumber pada Dialog Hukum Indonesia dengan tema “Membaca Nafas Islam dalam Konstitusi di Indonesia” yang diselenggarakan Jama’ah Sholahuddin Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Minggu (13/7) di Auditorium Wisma Kagama, Jogjakarta.
Secara historis, lanjut Hamdan, upaya melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk hukum-hukumnya dapat ditelusuri pada kerajaan-kejaraan Islam di Nusantara. Sebagai contoh kerajaan Mataram yang menjadikan Ijma dan Qiyas menjadi hukum positif yang mengikat. “Dengan demikian, kerajaan tersebut telah memberikan tempat yang begitu penting bagi hukum Islam, setidak-tidaknya hukum pidana maupun perdatanya sudah pernah berlaku sebagai hukum dalam kerajaan di nusantara,” jelas Hamdan.
Menurut Hamdan berlakunya hukum Islam sesungguhnya telah mendapat tempat secara konstitusional dalam sejarah pembentukan negara kesatuan Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan pada Piagam Jakarta pada tahun 1945 silam, di mana sila pertama mengatakan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, yang kemudian disepakati menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
“Dalam salah satu konsideran Dektrit Presiden tahun 1959 dinyatakan bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 telah menjiwai UUD 1945, dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi. Konsideran dekrit ini kemudian dikukuhkan kembali pada Perubahan Keempat (2002) dengan menegaskan bahwa UUD 1945 yang berlaku selama ini adalah UUD yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945. Hal ini mengartikan sejarah lahirnya konstitusi sejak awal telah bernafaskan islami yang dipadukan dengan nasionalisme,” tegas Hamdan.
Selain Ketua MK Hamdan Zoelva, hadir pula sebagai pembicara lainnya Ketua Pusat Studi Pancasila UGM Sudjito, serta mantan Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua. (dedy/mh)