Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Aswanto, Permohonan yang diajukan oleh PT. Coltrans Asia ini menguji Pasal 23 ayat (2) UU PPh yang dinilai memberikan ketidakpastian hukum.
Menurut Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya S. Yasin, pihak yang berwenang dalam pajak, yakni Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, memakai frasa ‘jenis jasa lain’ dalam pasal tersebut termasuk dalam pemotongan pajak penghasilan. Hal tersebut, imbuh Pemohon, tidak dapat dilakukan lantaran jenis jasa Pemohon masuk dalam lingkup pelayaran yang memiliki karakteristik berbeda dari jenis usaha lainnya sehingga semestinya tunduk pada UU Pelayaran.
Lebih lanjut, Pemohon menilai frasa ‘jenis jasa lain’ dalam Pasal 23 ayat (2) UU PPh telah tumpang tindih dengan UU lain yang mengatur bidang usaha tertentu sehingga telah melanggar asas-asas pembentukan perundang-undangan. Apalagi, sebelum direvisi, pasal yang sama tidak pernah memberikan kewenangan kepada siapapun untuk menentukan pungutan pajak atas penghasilan ‘jasa lain’ , tetapi hanya menentukan siapa pihak pemotong pajak.
Adapun Pasal 23 ayat (2)UU PPh berbunyi:
“Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”
Sebagaimana Pasal 23 huruf c angka 2 menentukan bahwa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, termasuk dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan yaitu sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa ‘jenis jasa lain’ dalam pasal tersebut inkonstitusional sepajang dimaknai dengan tanpa memperhatikan UU lain yang telah mengatur klasifikasi lapangan/bidang usaha tertentu.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Muhammad Alim memberikan sejumlah catatan, diantaranya Pemohon perlu mempertajam permohonannya, khususnya terkait pernyataan Pemohon yang merasa tidak adil dengan adanya pasal tersebut. “Di mana tidak adilnya menurut Saudara, itu dielaborasi sedemikian rupa. Karena kalau diberlakukan terhadap semua orang (itu namanya) adil, kecuali kalau ada perbedaan itu diskriminatif. Nah, ada enggak yang diperlakukan berlain-lainan menurut Saudara?” ujarnya di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Jumat (11/7).
Sedangkan Hakim Konstitusi Wahiduddins Adams menyarankan Pemohon untuk mempertajam argumentasi pertentangan norma dalam pokok permohonannya. “Ini juga terkait batu uji ya, batu ujinya Pasal 22A Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Selama ini belum pernah Pasal 22A ini dijadikan batu uji karena dia memang sudah selesai dengan terbentuknya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 terakhir,” ujarnya. (Lulu Hanifah/mh)