Pemohon Pengujian Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) yang juga terdakwa kasus bioremediasi fiktif PT Chevron, Bachtiar Abdul Fatah menghadirkan lima orang ahli. Kelimanya menyatakan ketentuan pengolahan limbah dalam UU PLH mengandung ketidakpastian hukum sehingga merugikan Pemohon. Hal itu disampaikan pada sidang yang digelar Kamis (10/7) di Ruang Sidang Pleno MK.
Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra yang dihadirkan sebagai ahli oleh Pemohon menyatakan Pasal 59 ayat (4), Pasal 95 ayat (1), dan Pasal 102 UU PLH mengandung ketidakpastian hukum. Sebab, seperti yang didalilkan Pemohon, ketentuan dalam Pasal 59 ayat (4) bertentangan dengan Pasal 59 ayat (1).
Dalam Pasal 59 ayat (4) mewajibkan pengelolaan limbah B3 (Bahan Berbaya dan Beracun) mendapat izin terlebih dulu dari menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Namun, dalam Pasal 59 ayat (1) justru mewajibkan setiap orang penghasil limbah B3 harus melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya. Dengan kata lain, ada atau tidaknya izin, penghasil limbah harus mengolah limbah B3 yang dihasilkannya bila tidak ingin dikenai sanksi pidana.
Saldi berpendapat, UU PLH membebankan sepenuhnya akibat hukum yang timbul dari ketidakterpenuhan kewajiban kepada pihak penghasil limbah. Hal itulah yang kemudian menimbulkan ketidakpastian bagi penghasil limbah. Sebab, pemenuhan kewajiban yang pertama (mengelola limbah B3, red) tergantung pada pemenuhan kewajiban kedua (mendapatkan izin pengolahan limbah, red). Terlebih, untuk memenuhi kewajiban kedua, penghasil limbah tidak sepenuhnya memiliki kuasa untuk mendapatkan izin.
“Kondisi ini tidak saja menghadirkan ketidakpastian hukum, melainkan juga menyebabkan terjadinya ketidakadilan bagi orang yang beriktikad baik mengelola limbah tetapi terganjal persoalan izin atau lambat dikeluarkan izin oleh pemerintah,” ujar Saldi.
Selanjutnya, Saldi mengatakan pembebanan dua kewajiban tersebut kepada penghasil limbah dapat dibenarkan. Asalkan, pemerintah selaku pemberi izin pengolahan limbah juga diberi batas waktu penerbitan izin tersebut. “Pembebanan dua kewajiban di atas tanpa diikuti dengan pembebanan kewajiban bagi Pemerintah sebagai pemberi izin, tentu saja tidak dapat dibenarkan menurut ukuran kepastian hukum yang adil sesuai dengan kehendak Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” lanjut Saldi.
Tentang adanya ketidakpastian hukum tersebut juga dinyatakan Linda Yanti Sulistiawati, ahli hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Linda mengatakan kedua pasal tersebut berpotensi merugikan hak konstitusional warga negara ketika penghasil limbah B3 mengolah sendiri meski izin sudah berakhir tidak bersamaan dengan berakhirnya izin usaha.
“Orang tersebut (pengelola limbah, red) tidak diharuskan untuk menghentikan usahanya, akan tetapi jika pengelolaan limbah akan diancam dengan pidana dan sebaliknya jika tidak mengelola limbah, juga akan diancam dengan pidana. Pada sisi yang lain, izin yang diperpanjang belum dikeluarkan oleh instansi terkait,” papar Linda memberikan gambaran kemungkinan terjadinya ketidakpastian hukum.
Bila dilihat dari aspek perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara, ketentuan mengenai izin pengolahan limbah tersebut bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945. Sebeb, ketentuan tersebut tidak memberikan jaminan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. “Pengaturan terhadap dua pasal tersebut, saling bertentangan sehingga tidak memberikan kepastian hukum, baik berbuat atau tidak berbuat, sama-sama dijatuhi hukum pidana. Oleh karenanya, kondisi yang demikian janganlah dibiarkan berlarut, sehingga menimbulkan kerugian yang lebih besar di masa depan,” tukas Linda. (Yusti Nurul Agustin/mh)