Sidang Pengujian Undang-Undang (UU) Aparatur Sipil Negara yang diajukan oleh sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis, (10/07). Agenda sidang kali ini adalah memeriksa perbaikan permohonan para pemohon dalam perkara 41/PUU-XII/2014.
Salah satu pemohon, Empi Muslion, menjelaskan kepada Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Wahiduddin Adams, jika pihaknya telah melakukan perbaikan permohonan sesuai dengan nasihat Majelis Hakim Konstitusi dalam sidang sebelumnya, yaitu uraian mengenai kedudukan hukum pemohon dan penajaman argumentasi dalil-dalil permohonan.
Menurutnya, kewajiban pengunduran diri bagi PNS yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah maupun anggota legislatif sejak mendaftar sebagai calon kepala daerah atau pun calon anggota legislatif, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 2014 itu dinilai diskriminatif terhadap PNS.
Sebagaimana diketahui, Pasal 119 UU ASN menyatakan, “Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon”.
Adapun Pasal 123 ayat (3) menyatakan, “Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon”.
Empi juga mengatakan, kedua pasal tersebut bertentangan dengan asas kepastian hukum yang adil dan asas persamaan dihadapan hukum, karena ketentuan itu juga berlaku untuk pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) maupun kepala daerah melalui jalur perseorangan, padahal kedua jabatan tersebut tidak melalui partai politik seperti.
Empi juga berargumen, UU tersebut tidak mengatur kewajiban pengunduran secara permanen bagi PNS yang mengisi jabatan publik yang tidak melalui mekanisme pemilihan umum seperti untuk jabatan komisioner Komisi Yudisial, Komisi Pemberantarantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), serta hakim konstitusi.
Terhadap perbaikan permohonan yang disampaikan oleh pemohon, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menyatakan apa yang disampaikan oleh Pemohon sebenarnya merupakan pilihan. Menurut Patrialis, banyak PNS yang cerdas dan memiliki kemampuan namun tidak memiliki kesempatan untuk mengisi jabatan publik, karena adanya pembatasan-pembatasan, namun di sisi lain tidak semua orang memiliki kesempatan untuk menjadi PNS.
Patrialis mengungkapkan, ketika menjadi hakim konstitusi, seorang kader partai politik harus menanggalkan keanggotaannya sebagai kader maupun pengurus partai, karena itu adalah pilihan. “Apakah dapat dijamin tidak terjadi perpecahan jika PNS maju dalam jabatan publik yang dipilih melalui pemilihan umum?” tanya Patrialis.
Menurut Majelis Hakim, sidang berikutnya akan diberitahukan kemudian setelah dibahas dalam rapat permusyawaratan hakim, dan pemohon diminta mempersiapkan ahli seandainya sidang dilanjutkan pada proses pemeriksaan. (Ilham/mh)