Pemohon prinsipal uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) dan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pileg) memperbaiki permohonannya mengenai aturan hak memilih. Perbaikan tersebut telah diterima majelis hakim panel dan akan dibahas dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH).
“Pemohon sudah memperbaiki permohonan sesuai dengan nasihat hakim yang dahulu, ya. Permohonan kami terima dan akan kami dilaporkan ke pleno. Nanti pleno yang menentukan bagaimana kelanjutan permohonan ini,” ujar Hakim Konstitusi Muhammad Alim yang memimpin persidangan di ruang sidang panel MK, Jakarta, Selasa (8/7).
Sebelumnya, Taufiq Hasan sebagai pemohon prinsipal menilai aturan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 dalam UU Pilpres dan UU UU Pileg bertentangan dengan konstitusi. Menurutnya, memilih pada pemilu bukan sekadar hak. Pemilih juga punya kewajiban dalam pemilu, yakni untuk mencoblos apa yang dipilih.
“Pada permohonan ini kami memohonkan yakni pengujian Undang-Undang Pemilu baik pileg mau pun pilpres karena Pemilu yang dilaksanakan sudah beberapa kali oleh bangsa Indonesia ini jelas-jelas menyimpang dari Undang-Undang Dasar tahun 1945 atau inkonstitusional karena tidak ada kewajiban yang dibebankan kepada rakyat padahal dalam konstitusi mengamanatkan hal tersebut,” ujar Taufiq dalam sidang perdana perkara nomor 39/PUU-XII/2014 tersebut.
Batu uji yang digunakan Taufiq adalah Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dalam penjelasan tersebut, menurutnya sudah jelas dalam Pemilu rakyat punya kedaulatan tanggung jawab, hak, dan kewajiban untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat. “Jadi, punya hak dan kewajiban bukan cuma punya hak seperti yang dipahami selama ini seharusnya UU Pemilu harus bisa menjelaskan mana yang itu hak rakyat dan mana yang kewajibannya,” imbuhnya. (Lulu Hanifah/mh)