Pelaksanaan demokrasi di Indonesia di mana salah satunya melalui instrumen Pemilu, ternyata telah diakui sebagai salah satu yang terbaik, bahkan oleh dunia internasional. Hal itu terbukti pada Senin (7/7), Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga negara yang berperan menyelesaikan sengketa Pemilu di Indonesia mendapat pengakuan tersebut saat menerima kunjungan dari Lembaga thinktank independen pemilu Tiongkok, The World and China Institute (WCI).
Sebanyak delapan orang peneliti demokrasi dan Pemilu yang berasal dari berbagai universitas di Tiongkok hadir dalam audiensi yang diselenggarakan atas fasilitasi dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan International Republican Institute (IRI). Kedatangan tim peneliti ini bertujuan untuk keperluan studi banding independen terhadap Pemilu Indonesia yang dianggap progresif dan terbuka.
Para delegasi yang dipimpin oleh Prof. Li Fan, diterima langsung di Ruang Delegasi MK, lantai 15 oleh Ketua MK Hamdan Zoelva yang pada kesempatan tersebut ditemani juga oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Prof. Li Fan membuka diskusi dengan pertanyaan mengenai kontribusi MK dalam Pemilu. Menanggapi pertanyaan yang disampaikan dalam bahasa Mandarin tersebut, Hamdan Zoelva menjelaskan bahwa secara garis besar MK terlibat dalan penanganan kasus-kasus sengketa Pemilu. “Penyelesaian sengketa Pemilu (PHPU) oleh MK termaktub dalam Konstitusi kami (UUD 1945). Yaitu, Pemilu presiden, anggota DPR, DPRD, dan DPD, biasanya kami memutus persoalan proses penghitungan suara dan perolehan kursi,” jelas Hamdan yang kemudian diteruskan kepada para delegasi melalui seorang penerjemah khusus.
“Kami baru saja menyelesaikan persengketaan Pemilu legisltaif, berkesan karena ada 900-an kasus yang harus kami selesaikan dalam kurun waktu sebulan. Perkara-perkara tersebut akhirnya bisa kami selesaikan selama sebulan penuh tanpa libur,” ucap Hamdan menanggapi pertanyaan tentang pengalaman berkesan selama bertugas di MK.
Antusiasme para delegasi independen ini sangat terlihat dari berbagai pertanyaan yang diajukan. Kondisi politik Tiongkok yang lebih ketat dan pengetahuan mereka tentang perpolitikan di Indonesia tampaknya jadi poin penting dalam menjadikan acara audiensi kali ini lebih hidup dan menarik. Pertanyaan mengenai Pemilu serentak pada 2019 dan independensi MK adalah beberapa pertanyaan yang juga sempat dajukan oleh delegasi dari tim yang sudah berdiri sejak tahun 1994 ini.
“Pemilu serentak diberlakukan setelah ada Judicial Review terhadap pemilihan umum. Dalam UUD 1945, tidak dibedakan antara pileg dan pilpres, dan tercantum bahwa penyelangaraanya hanya satu kali selama lima tahun. Itulah yang jadi pertimbangan kami dalam memutus Pemilu serentak pada 2019,” kata Patrialis Akbar menanggapi mengenai pertanyaan pemilihan serentak. “Sementara mengenai Electoral Threshold 20% tidak termasuk dalam putusan kami dan kami serahkan pada penyelenggara Pemilu,” jelas Hamdan Zoelva menambahkan.
Sementara mengenai independensi MK, Hamdan menjelaskan bahwa sembilan hakim secara merata merupakan gabungan dari DPR, ajuan Presiden, dan Mahkamah Agung. “Semua putusan adalah kesepakatan bersama kesembilan hakim, tidak ada satupun bahkan dari kami (Hamdan menunjuk Hakim Patrialis dan Hakim Maria) yang tiga-tiganya dari Presiden pernah diintervensi,” tegas Hamdan. “Putusan diambil bersama, namun tetap ada mekanisme voting jika terjadi suara tidak bulat dan dissenting opinion bisa disampaikan secara terbuka dalam persidangan,” tambahnya.
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Li Fan juga menjelaskan pemilihan umum perwakilan yang berlaku di RRT. Sebagaimana diketahui, RRT memberlakukan sistem partai tunggal dan hanya mengakui satu partai, yaitu Partai Komunis China (PKC). Pemilihan bebas di sana tidak dikenal, kecuali untuk pemilihan kepala wilayah setara kelurahan/desa ke bawah. Sedangkan untuk kepala wilayah setara kecamatan ke atas, termasuk presiden/pemimpin/ketua negara diitunjuk oleh kongres yang hanya berisikan para anggota dari PKC.
Hubungan RRT-Indonesia
Sebelum mengakhiri Audiensi, Li Fan menyampaikan bahwa demokrasi Indonesia adalah salah satu demokrasi terbaik di Asia bahkan dunia. Sifatnya progresif dan terus berkembang ke arah yang lebih baik. Baginya demokrasi di Indonesia sudah bisa disebut prestasi dan pantas jadi pembelajaran bagi negara lain.
Hamdan menanggapi dengan menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia akan terus berkembang dan suatu saat masyarakat diharapkan mampu menghargainya dan bertanggung jawab untuk melaksanakannya berdasarkan kesadaran masing-masing. Ia juga berharap melalui hal tersebut, hubungan RRT dan Indonesia dapat terus terbina dalam pergaulan internasional, baik dalam hubungan bilateral dan multilateral.
Delegasi WCI, yang beberapa di antaranya pernah mengunjungi MK pada 2012, dijadwalkan akan menemui anggota KPU dan memantau pelaksanaan pilpres pada 9 Juli di Solo dan Yogyakarta. (Winandriyo Anggianto/mh)