Basis hukum di Indonesia bersumber dari hukum adat, hukum Islam, hukum Eropa. Termasuk hukum yang berkembang di negara-negara anglo saxon yang sangat besar pengaruhnya terhadap hukum di Indonesia, terutama terhadap hukum bisnis. Hukum bisnis berkembang sedemikian rupa dipengaruhi oleh hukum yang berkembang dan tumbuh di Amerika Serikat.
“Produk dari pengaruh tiga hukum tersebut yang melahirkan hukum Indonesia, yang sekarang ini banyak pakar hukum sebagai hukum hibrida,” ungkap Ketua MK Hamdan Zoelva saat memberikan ceramah pada Minggu (6/7) sore di Sekolah Tinggi Manajemen dan Ilmu Komputer (STMIK) Muhammadiyah, Ciracas, Jakarta Timur.
Hukum hibrida adalah hukum yang lahir dari campuran antara tiga basis sumber hukum yaitu hukum adat, hukum Islam, dan hukum Eropa. Dijelaskan Hamdan, di masa penjajahan pengaruh hukum Belanda sangat kuat di Indonesia. Namun sebelum masa penjajahan Belanda, pengaruh hukum adat dan hukum Islam sudah sedemikian kuat. Belakangan, yang paling tergeser adalah basis hukum adat.
“Pada perkembangan terakhir, pengaruh hukum Islam sangat besar terhadap pembangunan hukum Indonesia. Terutama dalam hukum bisnis, perdagangan, muamallah dan lain-lain. Ini satu perkembangan yang sangat baik,” urai Hamdan dalam ceramah berjudul “Indonesia Berkemajuan Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna”.
Dikatakan Hamdan, pengaruh hukum Islam di Indonesia bersaing ketat dengan hukum yang masuk dari anglo saxon. Pengaruh Islam begitu kuat dan mulai masuk proses legislasi Indonesia dalam proses pembentukan undang-undang. Meski pada masa orde baru, pengaruh hukum Islam di Indonesia sangat kecil, bahkan dipinggirkan sedemikian rupa. Namun setelah reformasi 1998 terjadi perubahan yang luar biasa, bahwa pengaruh hukum Islam di Indonesia begitu besar.
“Kalau kita lihat dari landasan konstitusi, hukum Islam itu secara formal sangat mungkin berlaku di Indonesia. Walaupun misalnya Piagam Jakarta diubah, tapi dalam proses perjalanan kenegaraan Indonesia pada 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden, maka pada saat itulah momen hidupnya kembali Piagam Jakarta. Karena yang menjadi dasar berlakunya UUD 1945 saat ini adalah UUD yang dilahirkan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959,” papar Hamdan.
Dalam Dekrit Presiden tersebut, lanjut Hamdan, ditegaskan bahwa Piagam Jakarta adalah menjiwai dan bagian yang tidak terpisahkan dari UUD. Artinya, pemberlakuan hukum Islam bagi para pemeluknya memperoleh basis legal konstitusional yang absah berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
“Karena itu salah kalau ada orang mengatakan berlakunya hukum Islam bertentangan dengan Pancasila dan UUD. Orang seperti itu tidak mempelajari sejarah perkembangan konstitusi di Indonesia,” imbuh Hamdan.
Dasar konstitusional itu diperkuat lagi pada perubahan keempat UUD 1945 pada 2002. Dalam perubahan keempat UUD 1945 ditegaskan bahwa UUD yang dimiliki bangsa Indonesia saat ini adalah UUD yang disahkan pada 18 Agustus 1945 yang diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, hingga dilakukan beberapa perubahan UUD 1945.
“Perubahan keempat UUD 1945 memiliki makna konstitusional yang luar biasa, makna yang sangat mendasar karena pengakuan secara resmi bahwa Piagam Jakarta adalah menjiwai dan bagian yang tidak terpisahkan dari konstitusi,” tandas Hamdan. (Nano Tresna Arfana/mh)