Tidak hadir dua kali pada sidang pemeriksaan, Mahkamah Konstitusi (MK) menggugurkan permohonan pengujian Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) yang dimohonkan Syah Abdul Aziis. Pada kesempatan yang sama, MK menyatakan tidak dapat menerima permohonan pengujian UU Pilpres yang dimohonkan Presiden Lembaga Komite Pemerintahan Rakyat Independen (KPRI), Sri Sudarjo. Kedua putusan tersebut diucapkan langsung oleh Ketua MK, Hamdan Zoelva pada sidang yang digelar Kamis (3/7).
Sebelumnya, Syah Abdul Aziis yang masih berstatus mahasiswa mengajukan pengujian ketentuan syarat umur minimal bagi calon presiden dan wakil presiden. Ketentuan dalam Pasal 5 huruf o UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres tersebut memang mengatur usia minimal bagi calon presiden dan calon wakil presiden adalah 35 tahun. Menurut Abdul Aziiz ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) , serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Abdul Aziiz beranggapan batasan umur minimal bagi capres dan cawapres tersebut merugikan hak konstitusionalnya. Sebab, calon presiden dan wakil presiden yang berusia kurang dari 35 tahun memiliki hak yang sama untuk dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden. Oleh karena itu, Pasal 5 huruf 0 UU Pilpres dianggap telah menghalang-halangi dan menutup peluang bagi WNI berusia di bawah 35 tahun untuk menjadi presiden atau wakil presiden.
Namun sayang, Abdul Aziiz tidak pernah satu kali pun hadir dalam sidang pemeriksaan yang digelar oleh MK pada tanggal 16 Juni 2014 dan tanggal 18 Juni 2014. Padahal, MK telah memanggil Pemohon secara sah dan patut dengan surat panggilan resmi dari Panitera MK. Pemohon lewat surat izin yang dilayangkan ke Kepaniteraan MK memang beralasan tengah mengikuti ujian akhir semester di Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang. Namun, MK menilai tidak ada bukti yang membenarkan alasan Pemohon tersebut.
“Terhadap permohonan izin tersebut oleh karena tidak disertai bukti-bukti yang sah bahwa benar Pemohon sedang mengikuti ujian, Mahkamah menilai bahwa alasan Pemohon untuk tidak menghadiri persidangan bukan merupakan alasan yang sah menurut hukum. Dengan demikian Pemohon tersebut tidak bersungguh-sungguh tentang permohonannya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalam rangka memenuhi asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, Mahkamah harus menjatuhkan putusan permohonan Pemohon gugur,” ujar Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi membacakan pertimbangan hukum putusan perkara No. 48/PUU-XII/2014.
Tidak Dapat Diterima
Sementara itu, terhadap permohonan Sri Sudarjo yang teregistrasi dengan nomor 49/PUU-XIII/2014, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Dalam permohonan, Sri Sudarjo menganggap dirinya dirugikan dengan keberadaan pasal-pasal tentang syarat pengajuan calon presiden yang harus diusung oleh Parpol. Ia mendalilkan dirinya tidak bisa mengajukan diri sebagai capres karena berasal dari Komite Pemerintahan Rakyat Independen. Menurutnya, setiap warga negara Indonesia harus diakui hak politiknya untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden atau mencalonkan orang lain sebagai presiden dan wakil presiden melalui wadah perjuangan hak politik rakyat yaitu Komite Pemerintahan Rakyat Independen. Hak-hak asasi politik, lanjut Sudarjo, mencakup hak memilih, dipilih dalam suatu pemilihan. Hak membuat mendirikan partai politik, organisasi politik, lembaga gerakan social politik, termasuk mengajukan suatu konsensus, referendum, petisi maupun judicial review.
Selain itu, Sudarjo mengungkapkan aturan mengenai pasangan calon presiden dan wakil presiden harus berasal dari parpol maupun gabungan parpol merupakan wujud pengebirian hak asasi hukum secara absolut. Terlebih, bila tidak mencantumkan calon presiden dan wakil presiden independen dari Komite Pemerintahan Rakyat Independen. Sebab ia yakin, syarat-syarat pemerintahan demokratis berdasarkan konsep negara hukum adalah terbentuknya perlindungan nasional, kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, pemilihan umum yang bebas, kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan berserikat serta kebebasan memilih dan dilipih sebagai presiden dan wakil presiden.
Terhadap uraian permohonan Pemohon, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak jelas maksud dan tujuannya. Mahkamah, seperti yang dibacakan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, tidak memahami permintaan Pemohon. Sebab, dalam permohonannya, Pemohon tidak dengan jelas dan lugas meminta Mahkamah mengubah, menghilangkan, atau menyatakan pasal yang digugat bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu, seandainya pun maksud Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas pasal tersebut, Pemohon dalam posita permohonannya juga tidak menjelaskan pertentangan pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya terhadap UUD 1945 yang menjadi dasar pengujian. Demikian juga, dalam petitum permohonannya tidak jelas yang dimohonkan untuk diputus oleh Mahkamah, padahal Mahkamah dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan telah melaksanakan kewajibannya sesuai dengan UU MK memberikan nasihat supaya permohonan Pemohon dijelaskan dengan lengkap, akan tetapi Pemohon tetap pada pendiriannya dan permohonan Pemohon tetap sebagaimana diuraikan di atas.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon a quo kabur, sehingga tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30 dan Pasal 31 UU MK. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dan pokok permohonan,” ujar Maria. (Lulu Anjarsari/Yusti Nurul Agustin/mh)