Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam sidang kedua yang beragendakan perbaikan permohonan, Komite Pemerintahan Rakyat Independen dan beberapa pemohon perseorangan yang diwakili oleh A. H. Kamal memperbaiki permohonan masing-masing.
Sri Sudarjo selaku Presiden Komite Pemerintahan Rakyat Independen menjelaskan telah memperbaiki permohonannya di antaranya terkait kedudukan hukum dan petitum permohonan. Sudarjo mengungkapkan sebelumnya kedudukan hukum dalam permohonannya adalah sebagai badan hukum. “Di kedudukan hukum, ya sebagai Presiden Komite Pemerintahan Rakyat Independen. Selain itu, petitum kami ubah menjadi membatalkan pasal-pasal tersebut dan menyatakan tidak berkekuatan hukum menngikat,” ujarnya dalam sidang yang digelar pada Selasa (18/6) di Ruang Sidang MK.
Sementara itu, A.H. Kamal yang mewakili pemohon perseorangan dalam perkara Nomor 52/PUU-XII/2014, yakni Yonas Risakotta dan Baiq Oktavianty juga telah memperbaiki permohonan sesuai dengan saran Majelis Hakim pada sidang sebelumnya. Kamal mengungkapkan adanya ketidaksinkronan kategori jabatan gubernur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dengan UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). “Terjadi disharmoni dan tidak sinkron antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lain. Sementara dalam Undang-Undang Aparatur Sipil itu gubernur disebut juga sebagai pejabat negara,” ungkapnya.
Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ahmad Fadlil Sumadi menjelaskan bahwa kedua permohonan akan dilaporkan kepada Rapat Pleno Hakim sebelum digelar sidang pleno. “Sekali lagi, kami akan segera melaporkan kepada Rapat Pleno Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan persidangan berikutnya,” ujarnya.
Dalam permohonan yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 49/PUU-XII/2014, Komite Pemerintahan Rakyat Independen diwakili oleh Sri Sudarjo mendalilkan hak-hak konstitusional terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 2, angka 3, angka 4, dan Pasal 5 huruf V, Pasal 6 angka 1, angka 2, angka 3, Pasal 7 angka 1, angka 2, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 angka 1, angka 2, angka 3, angka 4, Pasal 11 angka 1, angka 2, Pasal 13 angka 1, angka 2, angka 3, Pasal 15 huruf A, huruf B, huruf C, huruf D UU Pilpres. Sudarjo mengungkapkan aturan mengenai pasangan calon presiden dan wakil presiden harus berasal dari parpol maupun gabungan parpol merupakan wujud pengebirian hak asasi hukum secara absolut apabila tidak mencantukan calon presiden dan wakil presiden independen dari komite pemerintahan rakyat independen karena syarat-syarat pemerintahan demokratis berdasarkan konsep negara hukum adalah terbentuknya perlindungan nasional, kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, pemilihan umum yang bebas, kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan berserikat serta kebebasan memilih dan dilipih sebagai presiden dan wakil presiden.
Sementara itu, pemohon perseorangan yang diwakili oleh A.H. Kamal mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya pasal 6 ayat (1), Penjelasan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilpres. Aturan mengenai pejabat negara yang harus mengundurkan diri ketika mengajukan diri sebagai capres maupun cawapres telah melanggar UUD 1945. Ia menambahkan jika jabatan gubernur tidak diwajibkan mundur ketika mencalonkan menjadi capres, maka telah mencederai prisip persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan dan tidak berkepastian hukum. Menurut Kamal, berdasarkan segala bentuk privilege dan kekuasaan presiden (presidential powers) sebagaimana dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka untuk dapat mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden tidak dengan peruntungan atau coba-coba, akan tetapi harus dengan kesungguhan dan sikap negarawan. (Lulu Anjarsari/mh)