Menjelang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang akan berlangsung pada 9 Juli mendatang, aturan mengenai calon presiden dan wakil presiden harus diajukan dari partai politik digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sejumlah pasal lainnya dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) dimohonkan pengujiannya oleh Komite Pemerintahan Rakyat Independen dan pemohon perseorangan pada Senin (16/6) di Ruang Sidang Panel MK.
Dalam permohonan yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 49/PUU-XII/2014, Komite Pemerintahan Rakyat Independen diwakili oleh Sri Sudarjo mendalilkan hak-hak konstitusional terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 2, angka 3, angka 4, dan Pasal 5 huruf V, Pasal 6 angka 1, angka 2, angka 3, Pasal 7 angka 1, angka 2, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 angka 1, angka 2, angka 3, angka 4, Pasal 11 angka 1, angka 2, Pasal 13 angka 1, angka 2, angka 3, Pasal 15 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d UU Pilpres. Menurut Sudarjo, setiap warga Negara Indonesia harus diakui hak politiknya untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden atau mencalonkan orang lain sebagai presiden dan wakil presiden melalui wadah perjuangan hak politik rakyat yaitu Komite Pemerintahan Rakyat Independen. Hak-hak asasi politik, lanjut Sudarjo, mencakup hak memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan. Hak membuat mendirikan partai politik, organisasi politik, lembaga gerakan social politik, termasuk mengajukan suatu konsensus, referendum, petisi maupun judicial review.
“Sampai hari ini kami selaku rakyat Indonesia tidak pernah punya hak politik baik dipilih maupun memilih. Karena apa yang terjadi selama ini yang diusung oleh partai politik, presiden dan wakil presiden yang diajukan, baik yang akan bertarunglah pada tanggal 9 Juli 2014, ini tidak sehaluan dengan hak politik kita yang kami anggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.
Selain itu, Sudarjo mengungkapkan aturan mengenai pasangan calon presiden dan wakil presiden harus berasal dari parpol maupun gabungan parpol merupakan wujud pengebirian hak asasi hukum secara absolut apabila tidak mencantukan calon presiden dan wakil presiden independen dari komite pemerintahan rakyat independen karena syarat-syarat pemerintahan demokratis berdasarkan konsep negara hukum adalah terbentuknya perlindungan nasional, kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, pemilihan umum yang bebas, kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan berserikat serta kebebasan memilih dan dilipih sebagai presiden dan wakil presiden.
Gubernur wajib mundur
Sementara itu, pemohon perseorangan yang diwakili oleh A.H. Kamal mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 6 ayat (1), penjelasan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilpres. Aturan mengenai pejabat negara yang harus mengundurkan diri ketika mengajukan diri sebagai capres maupun cawapres telah melanggar UUD 1945. “Sehingga kalau hanya ketua Mahkamah Konstitusi, ketua Mahkamah Agung, dan seterusnya itu yang harus mundur dari jabatan-jabatan politik, maka bagi Pemohon jelas–jelas ini berpotensi melanggar pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yaitu hak konstitusional untuk memilih dan dipilih yang berkesamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan hak untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” paparnya.
Ia menambahkan jika jabatan gubernur tidak diwajibkan mundur ketika mencalonkan menjadi capres, maka telah mencederai prisip persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan dan tidak berkepastian hukum. Menurut Kamal, berdasarkan segala bentuk privilege dan kekuasaan presiden (presidential powers) sebagaimana dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka untuk dapat mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden tidak dengan peruntungan atau coba-coba, akan tetapi harus dengan kesungguhan dan sikap negarawan.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan para Pemohon, Majelis Hakim yang juga dihadiri oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Patrialis Akbar memberikan saran perbaikan. Para hakim konstitusi meminta agar Pemohon memastikan apakah gubernur termasuk ke dalam kategori pejabat negara. “Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU/XI/2013-3.15 menyatakan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan jabatan eksekutif pemerintahan karena kalau Anda melihat di sini kalau eksekutif pemerintahan itu termasuk pejabat negara atau tidak mestinya atau enggak pemerintahan, gitu. Memang penyebutan hal-hal ini selalu menjadi suatu permasalan setelah kita menginjak reformasi ini,” saran Maria.
Sedangkan Fadlil meminta agar para Pemohon memperbaiki permohonan hingga Rabu, 18 Juni 2014. Hal ini, lanjut Fadlil, dikarenakan waktu penyelenggaraan pilpres yang semakin dekat. “Selain itu, ada putusan Mahkamah tentang sembilan ratus lebih sengketa pemilu yang itu tidak satu dua hari. Batas terakhirnya adalah tanggal 30 dan selanjutnya ‘kan sudah puasa lalu akan pilihan presiden, gitu, ya. Oleh karena itu, supaya ini menjadi perhatian,” ungkapnya. (Lulu Anjarsari/mh)