Dr. Hamdan Zoelva, S.H., M.H.

HAMDAN ZOELVA

Keputusan merantau ke Jakarta pada 1987 karena gagal ujian menjadi dosen di Universitas Hassanudin
Makassar, boleh jadi merupakan blessing in disguise, berkah bagi Hamdan Zoelva. Kini, 23 tahun kemudian, ia berhasil menggapai prestasi sebagai Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi. “Jika waktu itu saya lulus tes dosen, mungkin akan berbeda ceritanya,” ujar Hamdan.

Seandainya pada saat itu ia dinyatakan lulus, bisa jadi ia masih menetap di Makassar. Rupanya, kegagalan tes itulah yang memacu Hamdan untuk hijrah ke Jakarta. Pria kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat, 21 Juni 1962 itu adalah putra pasangan TG. KH. Muhammad Hasan, BA dan Hj. Siti Zaenab. Ayahnya adalah pimpinan Pondok Pesantren Al-Mukhlisin di Bima. Sedangkan ibunya berperan sebagai istri ulama yang sangat memerhatikan pendidikan agama anak-anaknya.

Hamdan menghabiskan masa kecil di Desa Parado, sekitar 50 kilometer dari Bima. Ia dibesarkan dalam tradisi keluarga santri. Karena itulah Hamdan kecil disekolahkan di Madrasah Ibtidaiyah. Ketika menginjak kelas 4, ia pindah ke Sekolah Dasar di Kota Bima. Pun begitu, di sore hari, waktu Hamdan diisi dengan pendidikan agama di Madrasah Diniyah. Setelah lulus SD, darah ulama membawa dia kembali bersekolah ke Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah di Bima.

Melepas Gelar Sarjana Muda

Sejak lulus Madrasah Aliyah pada 1981, Hamdan mulai terpikat oleh ilmu hukum. Pria kalem itu kemudian memutuskan untuk mengambil Jurusan Ilmu Hukum. Pada tahun itu namanya mulai tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Siapa sangka, ayahanda Hamdan menghendaki agar putranya berguru di InstitutAgama Islam Negeri (IAIN), sebagaimana tradisi keluarga mereka yang berlatar belakang p e s a n t r e n . Tak ingin mengecewakan ayahanda, sembari kuliah di Unhas, Hamdan mendaftar ke Fakultas Syari’ah IAIN Alaudin, Makassar. Walaupun, konsekuensinya ia harus berbagi waktu untuk menjalani kuliah di dua kampus sekaligus.

Semasa mahasiswa Hamdan dikenal sebagai aktivis di berbagai organisasi kemahasiswaan. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hanya salah satunya. Di organisasi tersebut, ia pernah menjabat sebagai Ketua Badan Koordinasi HMI Indonesia Timur. Namun, ternyata tak mudah menjalankan roda organisasi sambil kuliah di dua tempat. Demi kecintaannya terhadap organisasi, mau tak mau Hamdan dituntut untuk menentukan prioritas. Walhasil, setelah tiga tahun menjalani kuliah rangkap, ia melepas pendidikannya di IAIN Alaudin. “Karena takut tidak bisa berkonsentrasi pada ketiganya, maka saya putuskan untuk melepas
pendidikan di IAIN Alaudin. Padahal saat itu saya hampir mendapatkan gelar Sarjana Muda,” kenang suami
Nina Damayanti ini.

Gagal Jadi Dosen

Selepas lulus dari Fakultas Hukum Unhas, Hamdan sempat mengajar sebagai asisten dosen di almamaternya, serta Fakultas Syari’ah selama rentang 1986-1987. Tanpa diduga, hasratnya yang besar pada dunia pendidikan hukum harus kandas karena ia gagal ujian calon dosen di Unhas. “Saya sempat tidak percaya. Saya pikir, dengan kualifikasi yang saya miliki, seharusnya saya lulus,” kenang Hamdan.

Atas saran seorang dosen pembimbingnya, akhirnya Hamdan memutuskan merantau ke Jakarta. Sesampainya di ibukota, ia mulai merintis karir di dunia hukum dengan bergabung di kantor pengacara O.C.
Kaligis & Associate, pertengahan 1987. Berbekal pengalaman selama hampir tiga tahun di kantor pengacara senior itu, bersama teman-temannya, ia memutuskan untuk mendirikan kantor hukum sendiri. Berdirilah Sri Haryanti Akadijati, Poltak Hutajulu, Juniver Girsang, Hamdan Zoelva & Januardi S. Haribowo
(SPJH&J) Law Firm. Pada 1997 ia meninggalkan law firm itu untuk mendirikan kantor advokat Hamdan,
Sujana, Januardi & Partner (HSJ & Partner). Tujuh tahun kemudian, bersama Januardi S. Haribowo ia
membuka Hamdan & Januardi Law Firm. Profesi yang menjadi bagian dari hidup Hamdan selama lebih
dari dua dasawarsa itu pun akhirnya ditinggalkan, sesaat sebelum ia mengucapkan sumpah sebagai hakim
konstitusi awal 2010.

Berkecimpung di Dunia Politik

Ketika reformasi bergulir di era 1998-1999, bersama sejumlah tokoh ormas Islam yang tergabung dalam Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI), Hamdan mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB). Di partai politik baru itu, ia ditunjuk sebagai wakil sekretaris jenderal. Ia lantas ikut dalam bursa pemilihan calon anggota legislatif dalam Pemilihan Umum 1999. Namanya terpilih sebagai anggota DPR mewakili daerah kelahirannya, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Pengalaman organisasi yang sudah Hamdan pupuk sejak sekolah menengah membuat Deputy Chairman
ASEAN Muslim Youth Secretariat (AMSEC) itu dipercaya menjadi Sekretaris Fraksi PBB DPR. Selain itu, ia
juga diutus partainya untuk duduk di Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Ia juga sekaligus menjadi Wakil Ketua Komisi II DPR bidang Hukum dan Politik.

Berbagai jabatan di parlemen tersebut membawa Hamdan terlibat langsung dalam lobi-lobi politik dan kebijakan negara yang penting dan strategis. Di dalamnya termasuk pemilihan calon presiden dan wakil presiden, bahkan pemakzulan presiden. Pada periode 1999-2002, Hamdan menjadi satu-satunya wakil Fraksi PBB di Panitia Ad Hoc (PAH) I MPR yang membidani perubahan Undang-Undang Dasar 1945. “Masa-masa di DPR itu menjadi masa tersibuk dalam hidup saya,” ujar penulis buku Impeachment di Indonesia itu. Bagaimana tidak, ia harus bolak-balik antara menjadi Wakil Ketua Komisi II DPR dan anggota PAH I MPR. Belum lagi berbagai aktivitas politik lain.

Menduduki Semua Sisi Ruang Sidang MK

Hamdan tercatat sebagai salah satu tokoh yang berperan dalam perubahan UUD 1945 periode 1999-2002, sekaligus mengantarkan kelahiran Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya, ia menjadi anggota Panitia Khusus
penyusun Rancangan Undaang-Undang MK. Posisi itu menjadikannya terlibat langsung merumuskan berbagai hal mengenai MK, baik organisasi maupun hukum beracara di MK. Bahkan, ia menjadi satu di antara anggota DPR yang terlibat dalam uji kelayakan dan kepatutan calon Hakim Konstitusi periode pertama dari unsur DPR.

“Sejak amandemen UUD 1945, saya ikut berperan dalam mengemukakan pentingnya membentuk sebuah
lembaga yang berfungsi untuk menegakkan konstitusi kita, UUD 1945,” katanya. Tujuan awal kehadiran lembaga tersebut, menurut dia, adalah memenuhi kebutuhan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.

Hamdan tak lantas lepas tangan ketika MK terbentuk. Karena keanggotaannya dalam Forum Konstitusi (FK), organisasi yang didirikan para pelaku perubahan UUD 1945, ia masih berinteraksi dengan MK. Dengan posisi sekretaris, Hamdan masih tetap terus bekerja sama dengan MK melakukan sosialisasi dan peningkatan pemahaman tentang UUD 1945 ke berbagai lapisan masyarakat. Kerja sama tersebut menghasilkan buku Naskah Komprehensif Perubahan UUD Negara RI 1945, Latar Belakang Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002 yang diterbitkan MK. Kerja sama tersebut juga menghasilkan penerbitan buku Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi untuk siswa tingkat SD/Madrasah Ibtidaiyah, SMP/Madrasah Tsanawiyah, dan SMA/Madrasah Aliyah.

Kedekatan Hamdan dengan MK juga ditandai dengan keterlibatan Hamdan pada persidangan MK. Di dalam sidang-sidang yang ia hadiri itu Hamdan telah mencicipi berbagai kedudukan. Antara lain, mewakili DPR dalam sidang pengujian undang-undang. Di kesempatan lain ia menjadi wakil pemerintah, mendampingi
Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Sekretaris Negara, untuk memberikan keterangan. Bahkan, dalam sidang pengujian undang-undang maupun sengketa hasil pemilu, Hamdan juga pernah menjadi pemohon dan kuasa hukum pemohon. Keberadaannya sebagai saksi atau ahli sudah tidak dapat dihitung dengan jari. “Jadi saya sudah menduduki semua sisi di ruang sidang MK,” ujarnya seraya menambahkan, “Sekarang saya merasakan duduk sebagai Hakim Konstitusi.”

Hakim Konstitusi Adalah Ujian

Sebagai salah satu tokoh perintis lahirnya MK, Hamdan pernah membayangkan, kelak ia akan menduduki kursi hakim konstitusi. “Tapi itu nanti, jika saya berusia lebih dari 50 tahun,” ujar ayah Muhammad Faris Aufar, Ahmad Arya Hanafi, dan A. Adib Karamy itu. Ketika itu ia berpikir, pada seusia itu ia akan lebih bijak.
Tetapi Tuhan sudah punya jadwal sendiri. Pada usia 47 tahun, Hamdan bersanding dengan delapan hakim
konstitusi lain, yang rata-rata usianya jauh di atas dia. “Saya menjadi hakim konstitusi termuda pada periode ini,” katanya. Ia menggeser kedudukan M. Akil Mochtar sebagai hakim konstitusi termuda.

Menjadi hakim konstitusi, bagi Hamdan, merupakan sebuah ujian dan beban yang amat berat. Ia ingat betul pesan ayahandanya akan sebuah hadits. Rasulullah SAW bersabda, hanya ada satu dari tiga orang hakim yang masuk surga, sedangkan sisanya masuk neraka. Hadits yang dimaksud Hamdan itu menjelaskan, hakim yang masuk surga adalah hakim yang mengetahui kebenaran dan memutus perkara
dengan kebenaran. Sedangkan seorang hakim yang mengetahui kebenaran tetapi menyimpangkan hukum dan kebenaran, maka ia masuk neraka. Begitu pula hakim yang memutus perkara dengan kebodohan dan tanpa pengetahuan, jatahnya adalah neraka. “Jadi sungguh sangat berat,” tutur Hamdan.

Hamdan berharap bisa menjadi hakim yang masuk surga. Nilai dan keyakinan itulah yang memberinya kekuatan untuk membulatkan tekad menjadi hakim konstitusi, dengan berpijak pada hukum dan keadilan,
tanpa memihak kecuali pada kebenaran. Menjadi hakim konstitusi lebih berat dibanding hakim biasa, karena harus memiliki sifat negarawan. Di Republik Indonesia, hanya inilah satu-satunya jabatan yang mensyaratkan pejabatnya harus seorang negarawan. Artinya, seorang hakim konstitusi harus bebas dari kepentingan apapun, kecuali kebenaran dan keadilan itu sendiri. Itulah sebabnya, seorang Hamdan Zoelva yang besar di lingkungan profesi hukum dan dunia politik, menanggalkan seluruh latar belakangnya itu tatkala bersumpah menjadi hakim konstitusi. “Menghindari konflik kepentingan,” begitu ia memberi alasan.