Dr. Muhammad Alim, S.H., M. Hum.

MUHAMMAD ALIM

Pencapaian karir seorang Muhammad Alim hingga menjadi hakim konstitusi bagaikan jalan seorang musafir di gurun nan panas. Namun berkat modal tekad dan dukungan keluarga, sebuah kemuliaan hidup pun tergapai sudah. Kini, pengagum Nabi Muhammad SAW itu menjadi salah seorang penjaga gerbang keadilan di Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menjadi hakim konstitusi untuk beramal saleh. Berikut penggalan profilnya.

Berkat Bibi dan Sepeda Kumbang

Jalan panjang Dr. H. Muhammad Alim, SH., M.Hum ke Mahkamah Konstitusi (MK) bermula dari sebuah sepeda kumbang. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya bibinya tidak membelikannya sepeda ketika ia diterima di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. “Jarak antara kampus dengan rumah famili tempat saya menumpang 5 km. Kalau harus jalan kaki tak sanggup. Mau bayar becak dari mana duitnya?” ujar Alim mengenang peristiwa pada 1965 itu.

Karena tak punya sepeda, Alim absen ketika teman-teman sesama mahasiswa baru sudah mengikuti kegiatan perploncoan. Tetapi ia terselamatkan dari ancaman ketinggalan kuliah karena kemudian pecah peristiwa G 30 S. Pada saat itu perkuliahan terhenti karena para dosennya dilatih Batalyon Tri Dharma, sedangkan mahasiswanya ada yang dilatih resimen mahasiswa. “Saya tidak ikut kuliah karena tidak punya sepeda,” tutur Alim.

Untunglah, setelah perkuliahan aktif kembali, bibi sudah membelikannya sebuah sepeda. “Hanya karena tekadnya menyekolahkan, saya bisa jadi begini,” kata Alim tentang kedua bibinya. Akhirnya, dengan modal tekad, Alim pun dapat menggondol gelar Sarjana Hukum. Karena tekad untuk sekolah itu pula Alim mampu merampungkan pendidikan hingga S3 tanpa pernah mengikuti ikatan dinas. “Selalu biaya sendiri,” ujarnya bangga.

Dukungan Keluarga

Alim kecil kurang beruntung. Ayahnya, Singgih, meninggal dunia selang beberapa tahun setelah Alim lahir. Alim pun tak kuasa mengingat wajah ayahnya. Sejak itu hanya sang ibu, Zaenab, dan kedua bibi yang mengasuh dan membesarkannya. Dukungan keluargalah sebagai kata kunci kesuksesan Alim.

“Saya sekolah bukan karena ibu saya sanggup, tapi karena dibiayai oleh adik ibu saya,” katanya. Dengan menjahit, sedikit demi sedikit bibinya mengumpulkan rupiah. Kasih sayang kedua bibi Alim tertumpah padanya karena mereka tidak memiliki keturunan.

Alim lahir pada 21 April 1945 di Desa Pompaniki, 36 km sebelah utara Kabupaten Palopo, sebuah kota kecil di dekat Teluk Bone, Sulawesi Selatan. Begitu kecilnya desa itu sehingga dulu satu-satunya sekolah rendah (SR) yang ada hanya sampai kelas tiga. Kalau muridnya mau melanjutkan ke kelas empat, ia harus pindah ke tempat lain.

Tetapi Alim sudah meninggalkan desa itu ketika baru mau naik kelas 2 SR karena saat itu terjadi pergolakan DI/TII. Sedangkan ibu dan keluarga ayah Alim yang lain adalahpengikut organisasi pimpinan Abdul Kahar Muzakkar, Pemimpin DI/TII. Di tengah situasi segenting itu, Alim tetap wajib sekolah. Ia lalu bersekolah di Batu Sitanduk, sebuah kota kecamatan di Palopo. Pada saat duduk di kelas 5 SR, Alim sudah mengikuti ujian akhir dan lulus.

Meski berasal dari keluarga yang kurang mampu, namun Alim berlimpah kasih sayang dari ibunya. Kasih sayang dan kekompakan keluarga, menurut Alim, adalah modal yang membesarkannya hingga kini. Alim berpisah dengan orang-orang yang ia kasihi pada 1965 sejak ia berangkat kuliah.

Tuhan Menghendaki Alim Jadi Hakim

Alim kecil bercita-cita menjadi polisi atau jaksa. Bahkan, dulu ia sempat diusulkan menjadi jaksa sampai ke Kejaksaaan Agung, tapi Alim tak kunjung diangkat. “Tapi kok Tuhan menentukan lain, malah jadi hakim,” ujarnya sambil terkekeh. “Mungkin Tuhan menentukan lebih baik jadi hakim daripada jadi jaksa,” ia menambahkan.

Sebelum menjadi hakim, sejak Maret 1975 Alim adalah pegawai Pengadilan Tinggi Ujung Pandang. Ia sudah diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS), bahkan sudah menjadi panitera muda perdata. Kebetulan, pada 1979 ada penerimaan tes calon hakim. Tidak seperti ketentuan sekarang, pada saat itu PNS boleh mendaftar sebagai hakim. Kalau sekarang, sebelum mendaftar sebagai hakim, orang harus meletakkan dulu jabatannya sebagai PNS. “Saya lulus,” ujar Alim.

Mulanya, ia menjadi calon hakim di Pengadilan Negeri Ujung Pandang. Setahun kemudian, Alim diangkat sebagai hakim di Sinjai. Tujuh tahun kemudian ia dipindahkan ke Poso. Lalu diangkat menjadi Ketua Pengadilan Negeri Serui 1992. Pada 1996, ia dipindahkan sekaligus diangkat sebagai Ketua PN Wamena, Irian Jaya. Ia hanya dua tahun di sana karena kemudian diangkat sebagai hakim PN Surabaya.

Alim lalu mendapat promosi menjadi hakim tinggi di PT Jambi pada 2003. Lalu dimutasi lagi menjadi hakim madya utama PT DKI Jakarta (2006). Hanya setahun ia di Jakarta karena keburu diangkat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara. Jabatannya sebagai hakim karier berpuncak ketika ia diangkat sebagai Ketua PT Sulawesi Tenggara, awal 2008.

Pendidikan Seumur Hidup

Selama berpindah-pindah tugas, Alim memanfaatkan waktu luangnya untuk melanjutkan pendidikan. Ketika menjadi hakim di PN Surabaya, ia mengambil program S2 di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Setiap pekan, ia ke Yogya selama 8 jam naik bus dari Surabaya. Demikian pula sebaliknya. Di Surabaya pun ia hanya menyewa kamar kos sendiri.

Setelah meraih gelar master pada 2001, Alim langsung mendaftar di program S3 di universitas yang sama. “Saya adalah angkatan pertama program doktor di sana. Pesertanya 13 orang,” ujarnya. Ia juga mengambil jurusan hukum tata negara di S3. Tetapi, begitu semua perkuliahannya selesai, Alim diangkat sebagai hakim tinggi di Jambi. Penulisan disertasinya otomatis tertunda. “Selama 3,5 tahun saya baru ke kampus tiga kali,” ujarnya.

Tapi, rupanya pada Februari 2006 ia dipindahkan menjadi hakim di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Kebetulan, promotornya, Prof. Anshari tinggal di Jakarta. Sedangkan Co-promotor, Prof Dahlan Thalib, berdomisili di Yogyakarta. “Maka Januari 2007, saya baru bisa selesai S3,” ujar Alim.

Ketika Alim menjadi doktor, usianya 62 tahun. Padahal dengan pangkat IVE, pendidikan sudah tidak berpengaruh lagi terhadap karirnya. Namun, sebagai seorang muslim, Alim berusaha menyelesaikan perkuliahan sedapat-dapatnya sesuai kemampuannya. Karena belajar adalah jati diri. Sebab, ia memegang prinsip pendidikan seumur hidup. “Allah menjanjikan akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu pengetahuan,” ujarnya mengutip Qur’an Surat 58 ayat 10.

Hakim Konstitusi Bisikan Hati

Agaknya, Alim memang berada di jalan hidup yang penuh berkah. Sebab, entah mengapa, namanya bahkan tidak pernah diusulkan ke Komisi Yudisial untuk mengikuti tes calon hakim agung. Hingga pada suatu hari, sebagaiWakil Ketua PT Sulawesi Tenggara, ia mendapat tugas mewakili Ketua PT Sulawesi Tenggara, Arsyad Sanusi, dalam serah terima jabatan Pangdam VII Wirabuana di Makassar.

Sesampainya di Bandara Hasanuddin Makassar, ia menerima telepon dari istrinya, Hj. Rospati, di Kendari. “Katanya ada telepon dari Pak Arsyad dan Pak Dirjen,” ujar Alim. Ia juga diberitahu agar menemui Ketua MA, Bagir Manan, hari itu juga. “Lalu saya telepon Pak Arsyad. Katanya betul. Nanti malam kita berangkat sama-sama ke bandara,” tutur Alim. Ia diajak agar bersama-sama menemui Ketua MA Bagir Manan yang akan transit di Makassar.

Arsyad juga mengatakan bahwa Alim akan diusulkan menjadi hakim konstitusi. “Jangan menolak ya?” ujar Alim menirukan Arsyad. “Saya bilang, saya kan bawahan, saya nggak pernah menolak perintah. Disuruh ke Irian pun saya pergi,” katanya. Bahkan, setelah menjadi hakim tinggi di Jakarta pun ia tidak menolak ketika harus kembali ditugaskan ke Kendari.

Sebenarnya, pada saat itu Alim sudah bisa menduga perihal pencalonan dirinya. Sebab, ia sudah lebih dulu mendengar kabar itu dari Dirjen Peradilan Umum dan Perundang-undangan masa itu, Hatta Ali, yang kini menjabat hakim agung.

Karena itu, ia tidak begitu kaget ketika Ketua MA sendiri yang menyampaikan padanya. “Begini, ada berita buat Pak Alim, mau diusulkan sama-sama Pak Arsyad sebagai pengganti hakim konstitusi. Bagaimana, mau nggak?” ujar Bagir. “Saya bilang, oh, saya bawahan, Prof,” kata Alim. Bagir juga adalah guru Alim di kampus, karena itu ia menyapanya dengan panggilan Profesor.

“Apapun perintah atasan dilaksanakan,” lanjut Alim. Lagipula, menurut dia, siapa juga yang tidak mau menjadi hakim konstitusi. “MK adalah kantor kesebelas buat saya,” katanya. Kebetulan, ia juga merupakan hakim konstitusi kesebelas yang menggantikan Soedarsono, S.H. “Mungkin ini kantor terakhir saya,” katanya.

Beramal Saleh, Menjadi Negarawan

Bagi Alim, MK merupakan lembaga ikon reformasi di bidang hukum. “Saya sangat bersyukur masuk di sini karena kita betul-betul mandiri, tidak ada satu putusan yang tanpa melalui perdebatan,” katanya. Perdebatan itu selalu ada meski hanya menyangkut kata atau kalimatnya. “Sehingga menambah luas wawasan,” katanya.

Selain itu, undang-undang yang diuji juga beragam. Jadi, ia terpaksa harus membaca lagi undang-undang itu. “Kalau di peradilan umum kan agak monoton,” ujarnya. Ia merasa beruntung menjadi hakim konstitusi karena membuat ilmunya bertambah.

Misi MK sebagai pengawal dan penafsir konstitusi sudah benar di mata Alim. Apalagi hakim konstitusi diharapkan bersifat sebagai seorang negarawan. “Artinya visinya untuk kepentingan negara, bukan kepentingan sesaat,” katanya. Sebagai hakim konstitusi, ia akan menjalankan tugasnya mengalir sesuai kehendak Tuhan. Ia akan tetap berusaha berbuat yang terbaik menurut kemampuannya. “Itu kan pengabdian. Itu amal saleh namanya dalam perspektif Islam,” ujar ayah dari 7 putra-putri ini.