News Letter 20 Agustus 2018
 

Berita Pilihan

MK Keberatan Pernyataan OSO

MK ajukan keberatan atau somasi atas pernyataan Oesman Sapta Odang di salah satu tayangan televisi. Pernyataan itu menurut MK dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang merendahkan kehormatan, harkat, martabat, serta kewibawaan Mahkamah Konstitusi, dan para hakim konstitusi. Hal ini disampaikan Sekjen MK, Guntur Hamzah, dalam Konferensi Pers pada Senin, 31 Juli 2018 di Gedung Mahkamah Konstitusi.

           

 

 

Hakim Konstitusi Baru Ucap Sumpah di Hadapan Presiden

Setelah menerima 3 (tiga) nama calon Hakim Konstitusi hasil proses seleksi yang dilakukan dari Pansel, yakni Ni’matul Huda, Enny Nurbaningsih, dan Susi Dwi Harjanti, Presiden Jokowi segera akan memilih salah satunya untuk diajukan menggantikan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati. Hakim Konstitusi terpilih itu akan mengucap sumpah sebagai Hakim Konstitusi dihadapan Presiden Jokowi pada Senin, 13 Agustus 2018 pukul 13.00 WIB di Istana Negara, Jakarta. 

MK Peduli Lombok

Sebagai bentuk kepedulian terhadap para korban gempa Lombok, MK memberikan bantuan dana sebesar Rp 70.361.583. Bantuan ini diserahkan pada Rabu, 15 Agustus 2018, melalui Aksi Cepat Tanggap (ACT), sebuah lembaga kemanusiaan yang berkolaborasi untuk memberikan solusi isu-isu kemanusiaan di Indonesia maupun berbagai penjuru dunia. 

 

Putusan Aktual

Lima Putusan Terbaru (Dikabulkan)

  1. Putusan Nomor 38/PUU-XVI/2018 tanggal 23 Juli 2018 (Pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum);

  2. Putusan Nomor 31/PUU-XVI/2018 tanggal 23 Juli 2018 (Pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum);

  3. Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018 tanggal 23 Juli 2018 (Pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum);

  4. Putusan Nomor 1/PUU-XVI/2018 tanggal 23 Juli 2018 (Pengujian UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan);

  5. Putusan Nomor 16/PUU-XVI/2018 tanggal 28 Juni 2018 (Pengujian UU MD3). 

 

Caleg DPD Tak Boleh Pengurus Parpol

Tidak adanya penjelasan terhadap frasa “pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 182 huruf l UU Pemilu menimbulkan ketidakpastian hukum, apakah pengurus partai politik dapat atau boleh menjadi calon anggota DPD? Jika dibolehkan, maka hal itu akan bertentangan dengan hakikat DPD sebagai wujud representasi daerah dan sekaligus berpotensi lahirnya perwakilan ganda (double representation). Jika calon anggota DPD yang berasal dari pengurus partai politik terpilih, maka partai politik tersebut secara faktual akan memiliki wakil baik di DPR maupun di DPD. Sebaliknya, jika ditafsirkan tidak dapat atau tidak boleh, larangan demikian tidak secara ekplisit disebutkan dalam UU Pemilu, khususnya Pasal 182 huruf l UU Pemilu. Oleh karena itu, dalam Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018, MK menegaskan bahwa seseorang yang mencalonkan diri sebagai anggota DPD tidak boleh merangkap sebagai pengurus partai politik. MK juga memberikan jalan konstitusional seiring dengan proses pendaftaran calon anggota DPD untuk Pemilu 2019 yang telah dimulai. MK menyatakan, dalam hal terdapat bakal calon anggota DPD yang kebetulan merupakan pengurus partai politik terkena dampak oleh putusan ini, KPU dapat memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk tetap sebagai calon anggota DPD sepanjang telah menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan Partai Politik yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang bernilai hukum perihal pengunduran diri dimaksud. Jadi, dalam Pemilu 2019 dan pemilu berikutnya, tak boleh lagi ada caleg DPD yang merupakan pengurus partai politik, karena hal itu inkonstitusional. 

 

Inkonstitusionalitas Pemanggilan Paksa oleh DPR

Sejumlah ketentuan dalam UU MD3 dinyatakan inkonstitusional oleh MK melalui Putusan Nomor 16/PUU-XVI/2018Pertama, ketentuan mengenai DPR yang berhak melakukan pemanggilan paksa. Kedua, ketentuan mengenai MKD yang dapat mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap pihak-pihak yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Ketiga, mengenai pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Menurut MK, norma yang mengatur pemanggilan paksa dan sandera tidak jelas parameternya dalam konteks fungsi DPR. Kedua hal itu hanya berkaitan dengan proses penegakan hukum. MK tegaskan, kewenangan DPR memanggil paksa dan melakukan penyanderaan menimbulkan rasa takut yang dapat menjauhkan hubungan kemitraan secara horizontal antara DPR dengan rakyat sebagai konstituennya. Berikutnya, MKD yang dapat melakukan langkah hukum terhadap pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR tak sesuai dengan hakikat MKD sebagai lembaga penegak etik anggota DPR. Fungsi MKD terbatas pada wilayah penegakan etik dan tidak dapat dicampur-aduk dengan fungsi penegakan hukum. Jika DPR dan anggota DPR merasa direndahkan kehormatannya dan hendak mengambil langkah hukum, maka secara personal atau kelembagaan, mempunyai hak untuk mengambil langkah hukum. Terkait dengan norma mengenai pemanggilan DPR, MKD tak relevan dengan persetujuan tertulis karena MKD adalah lembaga etik. Menurut MK, persetujuan tertulis dari Presiden hanya dibutuhkan jika seorang anggota DPR dipanggil dan dimintai keterangan dalam hal diduga melakukan tindak pidana. Terhada  p hal-hal lain di luar itu, tidak dibutuhkan persetujuan tertulis dari Presiden.

 

Jumlah Anggota KPU Kabupaten/Kota 5 Orang

UU Pemilu menetapkan jumlah anggota KPU kabupaten/kota sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima) orang. Ketentuan itu dimohonkan uji materi ke MK oleh anggota KPU di beberapa daerah dan beberapa perorangan wraga negara. Menjadi pertanyaan besar mengapa ketika desain pelaksanaan Pemilu dilaksanakan secara serentak yang konsekuensinya akan menimbulkan beban kerja yang lebih besar justru jumlah penyelenggara Pemilu di kabupaten/kota dikurangi. Dalam Putusan Nomor 31/PUU-XVI/2018, MK menyatakan ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 5 (lima) orang. MK menegaskan, mengurangi jumlah anggota KPU kabupaten/kota di beberapa kabupaten dan kota menjadi berjumlah 3 (tiga) orang di tengah pertambahan beban penyelenggara pemilu, lebih-lebih dengan penyelenggaraan pemilu legisatif dan pemilu presiden dan wakil presiden serentak tahun 2019, adalah sesuatu yang irasional. Artinya, menurut putusan MK ini, jumlah anggota KPU kabupaten/kota harus disesuaikan dengan putusan MK ini, yakni ditetapkan berjumlah sebanyak 5 (lima) orang.
 

Info Khalayak 

1. Simposium Internasional “Constitutional Courts dan Constitusionalism in Political Dynamics”, Senin, 1 Oktober 2018 di Hotel Tentrem, Yogyakarta. Acara dibuka oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, dilanjutkan keynotespeecholeh Didier Linotte (Ketua MA Monaco).Narasumber:

  1. Tan Sri Richard Malanjum (Ketua Mahkamah Persekutuan Malaysia/Presiden AACC);
  2.  Jinsung Lee (Ketua MK Korea);
  3.  Engin Yildirim (Wakil Ketua MK Turki);
  4. Saldi Isra (Hakim Konstitusi RI);
  5. Jimly Asshiddiqie (Ketua MK RI Periode 2003-2008);
  6. Gianni Bucchicio (Presiden Venice Commision).  

2. Workshop(Call for Paper) “Constitutional Courts dan Constitusionalism in Political Dynamics”, Selasa-Rabu, 2-3 Oktober 2018 di Hotel Tentrem, Yogyakarta. 

Presentasi 18 penulis artikel konstitusi terseleksi dari sejumlah kampus di berbagai negara di seluruh dunia. Artikel yang dipresentasikan akan dimuat di Jurnal Internasional “Constitutional Review”yang dikelola Mahkamah Konstitusi.Pembicara undangan:

     - Theunis Roux (University of New South Wales/UNSW),

     -  Andrew Harding (National University of Singapore),

     -  Bjorn Dressel (Australian National University),

     -  Tomoo Inaoeu (Seiki University).  

3. Short Course Constitutional Courts dan Constitusionalism in Political Dynamics” untukCourt OfficerAnggota AACC diselenggarakan pada 2-3 Oktober 2018 di Hotel Tentrem, Yogyakarta. Materi dan narasumber:

  1. Constitusionalism at The Crossroads: Law, Politics, and Society(Hamdan Zoelva, Ketua MK Periode 2013-2015),
  2.  Law and Politics in Indonesia: Sustainability and Change(I Dewa Gede Palguna, Hakim Konstitusi),
  3. Can the Constitutional Court be Free of Politics? (Denny Indrayana, Guru Besar HTN UGM)-tentatif
  4. Political Pressure on Constitutional Courts Decisions(Maruarar Siahaan, Hakim Konstitusi Periode 2003-2008).

 

Sidang Pekan Ini        

· MK Sidangkan PHP Gubernur Maluku Utara.

Pada Senin, 20 Agustus, MK menggelar sidang perkara Nomor 36/PHP.GUB-XVI/2018 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur Maluku Utara Tahun 2018 dengan agenda mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli Pemohon, Termohon, Pihak Terkait, Keterangan Kemendagri. Perkara ini diajukan oleh pasangan Calon Gubernur dan Wakil GubernurAbdul Gani Kasuba dan Yasin Ali. ·        

· Sidang PHP Bupati Timor Tengah Selatan Dilanjut

Setelah sidang pendahuluan yang digelar sebelumnya, pada Selasa, 21 Agustus 2018, MK menggelar sidang untuk perkarayang diajukan pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Obed Naitbohodan Alexander Kase. Sidang digelar untuk mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait. 

 

Publikasi Konstitusi

· MK dan Konsolidasi Demokrasi di Indonesia

Indonesia dikatakan sedang dalam tahapan konsolidasi demokrasi. Dalam tahapan tersebut, ada peran Mahkamah Konstitusi melalui putusannya. Artikel “The Constitutional Court and Consolidation of Democracy in Indonesia” yang ditulis Luthfi Widagdo Eddyono di Jurnal Konstitusi Volume 15 Nomor 1, Maret 2018 menguraikan sejumlah putusan MK yang berpengaruh positif dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia. 

 

· Mengulas Fungsi Dissenting Opiniondi MK Indonesia

Hakim Konstitusi di MK Indonesia dibolehkan mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan MK. Apa makna dan tujuan serta bagaimana seharusnya dissenting opinionditingkatkan utilitasnya? Hal tersebut diulas Simon Butt dalam artikel berjudul The Function of Judicial Dissent in Indonesia’s Constitutional Court yang dimuat di Constitutional Review Volume 4, Number 1, May 2018.

     

· Judicial Review dan Lubang dalam Sistem Konstitusi Indonesia

Sistem konstitusional Indonesia dipandang mengandung cacat serius mengingat konstitusionalitas sejumlah besar peraturan perundang-undangan tidak dapat diputuskan oleh pengadilan mana pun.Sering terjadi, substansi undang-undang ditemukan dalam peraturan pelaksana. Hal itu diulas Tim Lindsey dalam artikel berjudul Filling the Hole in Indonesia’s Constitutional System: Constitutional Courts and the Review of Regulations in a Split Jurisdictiondi Constitutional Review Volume 4, Number 1, May 2018, Tim menyarankan agar MK Indonesia mengadopsi kewenangan MK Korea Selatan untuk mencegah konstitusionalisme tumbang oleh peraturan sub-ordinasi yang inkonstitusional.

 

·  Ambiguitas Hak Subpoena di Parlemen

Dalam Putusan Nomor 16/PUU-XVI/2018 perihal pengujian UU MD3, MK menghapus hak subpoena DPR. Hak subpoena merujuk pada kewenangan lembaga peradilan untuk memaksa siapa saja demi menegakkan keadilan dan mengungkap kebenaran.  Lantas, bagaimana dengan hak subpoenaDPR? Opini Merry Christian Putri berjudul “Ambiguitas Hak Subpoena di Parlemen” di  Majalah Konstitusi Edisi Juli 2018 menyarankan agar hak subpoena melekat pada lembaga penegak hukum, bukan DPR.

 

·  Putusan MK dan Larangan Nyaleg Mantan Terpidana Korupsi 

KPU membuat aturan mengenai syarat calon anggota lembaga perwakilan ialah bukan mantan terpidana korupsi. Terhadap niat tersebut, ada pro dan kontra. Dalam opini berjudul “Mantan Terpidana Korupsi Dilarang ‘Nyaleg’” di Majalah Konstitusi Edisi Mei 2018, Fajar Laksono Suroso melakukan analisis dengan merujuk pada sejumlah putusan MK. Pembatasan hak dipilihtidak boleh dengan PKPU, melainkan dengan UU yang pembentukannya harus hati-hati agar tak ‘melabrak’ Putusan MK.