Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, guna menegakkan hukum dan keadilan. Itulah yang terkandung dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945. Sedangkan Pasal 24 Ayat (2) menyebutkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
“Dari Pasal 24 UUD 1945 itulah kita mengetahui bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan pelaku kekuasaan kehakiman,” ujar Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi saat menerima kunjungan para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Muria Kudus ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (6/11) siang.
Dikatakan Fadlil, kekuasaan kehakiman merupakan bagian dari kekuasaan negara. Kekuasaan negara itu dalam perspektif negara hukum yang demokratis dibagi dalam tiga cabang utama kekuasaan negara. Pertama, kekuasaan pembentuk hukum atau UU. Kedua, kekuasaan penyelenggara negara berdasarkan UU. Ketiga, kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan.
“Biasanya kita menyebut tiga kekuasaan itu adalah kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Mengenai kekuasaan yudikatif, sekarang jarang disebut kekuasaan yudikatif, namun lebih banyak ditulis dengan kekuasan yudisial,” kata Fadlil yang didampingi dosen Universitas Muria Kudus, Dr. H. Sukrisno, S.H. M.H. selaku moderator.
Fadlil menambahkan, ketiga kekuasaan tersebut merupakan kekuasaan negara. “Mengapa negara berkuasa? Karena negara dibentuk untuk menyelenggarakan fungsi menyejahterakan warganya. Secara praktik, yang paling berkuasa adalah negara. Supaya negara tidak sewenang-wenang, maka kekuasaannya dibagi tiga kekuasaan seperti sudah disebutkan tadi,” papar Fadlil.
Lebih lanjut Fadlil mengungkapkan banyaknya pertanyaan terhadap MK, misalnya latar belakang dibentuknya MK pada 2003, atau secara konstitusional MK mulai dikenal pada 2001. “Ada orang yang bertanya, kenapa Mahkamah Konstitusi tidak dibentuk sejak Indonesia merdeka?” imbuh Fadlil.
Fadlil kemudian menjawab pertanyaan itu. Soal MK baru dibentuk pada 2003, alasannya karena MK hadir dari rahim reformasi. Reformasi merupakan dinamika sosial politik yang puncaknya terjadi pada 1998. “Disebut puncak karena dinamika sosial politik kala itu sedemikian rupa dahsyatnya, sehingga memakan ongkos yang sangat banyak. Termasuk yang tidak dapat dihitung dengan uang, yaitu ongkos sosial yang sangat besar,” urai Fadlil.
Ketika itulah rezim Soeharto mundur yang digantikan oleh BJ Habibie. Dinamika sosial politik pada masa itu bermula dari suatu keadaan krisis di bidang keuangan, meningkat sedemikian rupa, merembet pada bidang-bidang lain, sehingga orang menyebutnya sebagai krisis multi dimensional. “Dalam teori sosial politik, setiap dinamika sosial politik itu selalu ada pesan di dalamnya. Pesan yang sangat keras bergaung di dalam dinamika sosial politik adalah tuntutan demokratisasi dalam kehidupan bernegara,” jelas Fadlil.
Hingga orang mulai menyoroti UUD 1945, menilai UUD 1945 terlalu singkat. Karena UUD 1945 dianggap terlalu singkat, menjadikan norma-norma di dalam kehidupan berbangsa mudah diselewengkan. UUD 1945 ketika itu dinilai sangat memberikan kekuasaan yang besar kepada Presiden. Meski pada saat itu ada kekuasaan yang lebih besar dari Presiden, yaitu kekuasaan MPR.
Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen menyebutkan, “Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.” Setelah amandemen, Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UU.” Terjadinya amandemen UUD 1945 juga menjadi latar belakang dibentuknya MK pada 13 Agustus 2003. (Nano Tresna Arfana/mh)