JAKARTA, HUMAS MKRI - Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya. Tetapi kekayaan ini hanya berupa potensi karena masih banyak yang belum digali secara maksimal. Dalam hal ini sebenarnya ada ruang besar untuk dilakukan eksplorasi oleh peneliti-peneliti. Oleh karenanya, peneliti tidak boleh asik sendiri, tetapi harus membagi-bagi tugas dengan pihak yang berwenang, seperti pemerintah daerah (pemda) untuk dapat bergerak bersama menggali potensi budaya yang ada tersebut.
Demikian sepenggal kalimat pembuka yang dinyatakan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams saat menjadi penceramah kunci dalam kegiatan Seminar Hasil Penelitian Naskah Kuno Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan pada Sabtu (28/11/2020) pagi. Dalam kegiatan bertema “Lokalitas Keagamaan dan Kebangsaan dalam Naskah Kuno Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan” ini, Wahiduddin menyampaikan materi ceramah berjudul “Akar Sejarah”.
Terkait dengan potensi cagar budaya, Wahiduddin bercerita, adalah manusiawi jika manusia memiliki ikatan emosional dengan asal usulnya. Karena jika manusia terkait dengan akar sejarahnya itu, maka hal tersebut akan lebih mudah baginya untuk memahami jati dirinya. Dalam konteks praktik dan pengalaman, Wahiduddin mengisahkan perihal konflik di Timur Tengah khususnya bagi bangsa Palestina, yang tidak ingin tercerabut dari akar sejarahnya. Akan sulit jika seseorang ketika diusir dari tanah kelahiran, bukan hanya perihal tanahnya, namun juga hilangnya jati diri atau adanya kompensasi nonmateri yang tak ternilai yang terkandung di dalamnya.
Demikian juga dengan penemuan-penemuan peneliti dalam sebuah naskah kuno, bahasannya yang terhubung dengan persoalan sejarah seringkali tidak menarik minat banyak mata dan tak jarang hanya disampaikan sebagai sebuah persoalan nostalgia saja. Bila melihat dari kacamata akademik atau filologi, ilmu ini pun jarang dilirik karena kalah pamor dengan bidang lainnya. Padahal, sambung Wahiduddin, Bung Karno dalam pidatonya pernah berkata “Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah.”
Kendati demikian, Wahiduddin berkeyakinan bidang yang ditekuni oleh segelintir orang ini dengan ketekunan dan peminatan yang besar akan berpengaruh nantinya bagi kebijakan yang akan dibuat oleh pemangku kepentingan. Untuk itu, perlu adanya ketentuan dari peraturan daerah yang meliputi perlindungan pada cagar budaya termasuk menjaga keberadaan naskah kuno yang telah diteliti para peneliti daerah.
“Inilah tantangan bagi kita sebagai bangsa yang dianugerahkan banyak sekali aset-aset budaya yang bernilai sejarah dan adat. Bagaimana pemerintah daerah harus membuat regulasi untuk perlindungan, khususnya pula dalam hal ini bagi naskah kuno. Dengan aturan daerah ini nantinya akan diperoleh kepastian hukum dari naskah-naskah ini, mulai dari pemeliharaanya, SDM yang mengelolanya, dan pihak swasta atau masyarakat yang berminat atas naskah kuno yang hendak memberikan bantuan untuk menyokong lestarinya cagar budaya tersebut,” sampai Wahiduddin dalam kegiatan yang digelar secara daring serta turut dihadiri oleh pembicara lain, di antaranya Alih Aksara Naskah Hidayat, Pembedah Naskah Duski Ibrahim, dan Peraih Fasilitasi Bidang Kebudayaan Tahap II 2020 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Muhammad Daud Bengkulah.
Amanat Konstitusi
Kendati diakui Wahiduddin bahwa manusia telah memasuki masa zaman serba cepat dan bahkan borderless, namun usaha untuk menjaga budaya melalui cagar budaya haruslah tetap diupayakan secara optimal. Konstitusi telah mengamanatkan dalam Pasal 32 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.” Dalam hal ini, Wahiduddin melihat perlu adanya kehadiran negara yang ditafsirkan secara luas. Sebagaimana MK pernah dalam sebuah Putusan Nomor 4/PUU-X/2012, yang pada intinya menyatakan hak setiap warga negara untuk mengembangkan nilai-nilai budayanya.
“Dengan kata lain, Mahkamah berupaya untuk menjaga nilai-nilai budaya dengan menyertakan keikutsertaan warga negara,” ungkap Wahiduddin yang merupakan putra daerah yang menyelesaikan masa pendidikan dasarnya dari tingkat SD hingga madrasah aliyah di Ogan Komeling Ilir.
Sehubungan dengan perlindungan hak konstitusional warga negara terkait dengan budaya ini, Wahiduddin mengungkapkan posisi MK ada pada hilir. Secara sederhana, apabila terdapat norma UU yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945, maka bagi warga negara dapat melakukan uji norma tersebut di Mahkamah. Diakui oleh Wahiduddin bahwa undang-undang memang tidak mengatur secara rinci tentang konsep suatu budaya daerah. Namun terdapat aturan turunan yang mengaturnya dengan lebih runut termasuk bagaimana melaksanakan undang-undang tersebut dalam wujud yang lebih konkret.
“Untuk itulah, perlunya tugas dari pimpinan daerah untuk melayani dan melindungi masyarakat terkait dengan hal-hal yang bersifat lokal seperti halnya pula dengan upaya mendukung kegiatan seperti ini dan memberikan sokongan lainnya untuk meningkatkan penelitian dan kajian mengenai potensi budaya daerah, terlelbih lagi yang berhubungan dengan naskah kuno,” jelas Wahiduddin yang menyampaikan materi ceramah dari Gedung MK, Jakarta.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
https://youtu.be/r7sAmEH7X1M