JAKARTA, HUMAS MKRI – Aturan yang hanya memperbolehkan bank umum mengambil alih agunan nasabah kredit macet dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Pribadi Budiono yang merupakan Direktur Utama PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Lestari Bali mengajukan pengujian materiil Pasal 12A ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana perkara Nomor 102/PUU-XVIII/2020 digelar pada Kamis (26/11/2020) secara virtual.
I Made Sari selaku kuasa hukum Pemohon mengatakan, Pemohon mengalami kerugian dengan adanya pemberlakuan frasa “Bank Umum” dalam UU Perbankan. Hal ini karena aturan tersebut hanya memperbolehkan bank umum yang dapat mengambil alih agunan nasabah debitur macet melalui lelang. Sementara hak yang sama tidak dimiliki oleh BPR.
“Sehingga Pemohon merasa mendapat perlakuan diskriminatif dan ketidakadilan untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan layaknya sama dengan Pihak Bank Umum untuk dapat mengambil alih agunan nasabahnya melalui lelang untuk menyelesaikan masalah kredit macet nasabah,” ujar Made dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih tersebut.
Selain itu, Made melanjutkan akibat adanya Surat DJKN 2012, maka lelang agunan debitur kredit macet dari Pemohon tidak pernah dapat diselesaikan pada saat calon peserta pembeli lelang agunan tidak ada. Kredit macet yang tidak dapat diselesaikan akibat lelang agunan debitur macet yang tidak ada calon peserta pembeli lelang, meskipun sudah melalui proses lelang yang sah. Padahal nilai limit lelang yang digunakan sudah nilai limit terendah dari agunan tersebut sehingga hal ini yang membuat BPR mengalami kerugian, berbeda halnya dengan bank umum. “Hak Pemohon dihambat. Hak untuk mengambil alih agunan kredit macet nasabahnya melalui lelang agunan. Hal ini yang mengakibatkan pemohon tidak dapat mengambil alih hak agunan,” tegas Made.
Lebih lanjut Made mengatakan, dalam Pasal 12A ayat (2) UU Perbankan tersebut tidak ada larangan secara tegas bagi Pemohon (BPR) untuk mengambil alih agunan nasabah kredit macet melalui lelang; seperti yang dapat dilakukan oleh Bank Umum. Namun karena terbitnya Surat DJKN 2012 yang memaknai secara berbeda antara Bank Umum dan BPR, mengakibatkan ketidak seragaman dalam aturan pelaksanaan UU 10/1998.
Made juga mengatakan, Pemohon mengajukan pengujian undang-undang agar mendapatkan keputusan pemaknaan yang benar berdasarkan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan Majelis Hakim. Made menambahkan dengan tidak berlakunya Surat DJKN 2012, maka dapat diberlakukan keseragaman pengaturan antara UUD 1945 dengan UU Perbankan dan POJK sebagai lembaga pengawas Bank Umum maupun BPR, bukan sebagaimana diatur dalam Surat DJKN 2012.
Untuk itu, dalam petitumnya, Made meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan bahwa materi muatan frasa “Bank Umum” yang terdapat dalam Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak ditafsirkan Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat. Maka, Pemohon meminta agar tafsiran Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan terutama frasa “Bank Umum” menjadi “baik Bank Umum maupun BPR dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa menjual diluar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya”.
Pertegas Hak Konstitusional
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Komstitusi Suhartoyo menyarankan agar pemohon mempertegas hak konstitusional yang diajukan pengujian apakah hak konstitusional ssecara pribadi atau sebagai kelembagaan/organisasi. “Kerugian hak konstitusionalnya harus clear dulu secara pribadi ataukah dia mewakili badan hukum BPR Lestari,”ujar Suhartoyo.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta pemohon untuk menguraikan satu persatu batu uji beserta dengan pertentangan normanya. Serta pada bagian petitum, Arief meminta Pemohon untuk menyederhanakan petitum yang dimohonkan. Lebih lanjut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan Pemohon untuk membangun konstruksi kerugian konstitusional.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa para pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Permohonan disampaikan oleh pemohon paling lambat hari Rabu, 9 Desember 2020, pada pukul 14.00 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: Andhini SF
https://youtu.be/-kkb1UfcEEk