JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian), Rabu (25/11/20) dalam persidangan yang digelar secara daring. Dalam amar Putusan Nomor 5/PUU-XVIII/2020, MK menyatakan menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI).
Menurut AAUI (Pemohon), Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta bersifat multitafsir serta tidak memiliki ukuran yang jelas apa yang dimaksud dengan “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Keadaan ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para anggota Pemohon untuk menjalankan lini usahanya. Hal ini ditambahkan dengan tidak adanya penjelasan dalam UU a quo mengenai apa yang dimaksud dalam pasal a quo. Padahal sejak awal suretyship adalah merupakan lini usaha dari perusahaan asuransi, kemudian terbit UU 1/2016 yang tidak membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi, namun terbit lagi UU 2/2017 dan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 16/2018) yang membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi
Baca Juga:
Status Usaha Suretyship Tidak Jelas, Asosiasi Asuransi Gugat UU Perasuransian
Pemohon Uji UU Perasuransian Pertegas Argumentasi Kedudukan Hukum
Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan hukum Mahkamah menyatakan, ketentuan dalam norma Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian frasa “sesuai kebutuhan masyarakat” merupakan ketentuan yang perlu diakomodir dan dipertahankan untuk menyesuaikan perkembangan industri perasuransian di masyarakat. Apabila norma tersebut dimaknai “termasuk lini usaha suretyship” sebagaimana yang diinginkan Pemohon di dalam petitum, justru akan memberikan ketidakpastian hukum bagi perusahaan asuransi untuk dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha dan membatasi kemungkinan adanya perluasan lini usaha lain selain suretyship. Ditambah pula, Mahkamah melihat tanpa adanya perluasan makna terhadap frasa “sesuai kebutuhan masyarakat” sebenarnya telah pula terakomodir dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU Penjaminan).
“Oleh karena pengaturan suretyship sudah diatur dalam UU 1/2016 maka sesungguhnya tidak perlu lagi diatur dalam UU 40/2014, sehingga dengan demikian sebenarnya tidak ada persoalan mengenai pengaturan suretyship,” ucap Suhartoyo dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya.
Baca Juga:
Peran Pemerintah Mendorong Kapasitas Asuransi
DPR Kembali Berhalangan Hadir, Sidang Uji UU Perasuransian Ditunda
OJK: Lini Usaha Suretyship Boleh Dilakukan Perusahaan Penjaminan maupun Asuransi
Tidak Dikenakan Sanksi
Selanjutnya, berkenaan dengan dalil Pemohon terhadap norma Pasal 61 UU Penjaminan, dalam posita Pemohon menganggap norma pasal a quo telah menghalangi perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha suretyship. Terhadap hal iniMahkamah menegaskan, perusahaan asuransi yang merupakan perusahaan di luar lembaga penjamin harus memenuhi persyaratan sebagai lembaga penjamin apabila hendak melakukan kegiatan usaha yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan.
Baca Juga:
DPR: UU Perasuransian Telah Mencakup Perluasan Usaha Suretyship
Suretyship Mudahkan Kontraktor Untuk Pembiayaan Proyek
OJK Tak Perlu Terbitkan Aturan Khusus Perluasan Lini Usaha Asuransi
Sedangkan kegiatan lini usaha suretyship dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi yang bersinergi dengan amanat Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, yang mengatur perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian. Dan sebagai pelaksanaan dari amanat Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransin ini, OJK juga telah menerbitkan POJK 69/2016. Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa diberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship dan ketentuan ini pun telahsejalan dengan ketentuan Pasal 61 UU Penjaminan.
“Dengan demikian perusahaan asuransi yang melakukan lini usaha suretyship tidaklah dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana kekhawatiran Pemohon,” jelas Suhartoyo.
Pada sidang pendahuluan, Pemohon menyebut lini usaha suretyship sebagai perluasan usaha asuransi. Pelaksanaannya hanya didasarkan pada norma yang hanya memberikan wewenang kepada OJK untuk melakukan perluasan ruang lingkup. Dalam pandangan Pemohon, hal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain itu, dalam permohonan a quo Pemohon juga mendalilkan pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekutan hukum sepanjang tidak dimaknai “mencantumkan sebagai perluasan jenis usaha asuransi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.”
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita