JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) kembali digelar di MK pada Senin (23/11/2020) secara virtual. Permohonan perkara yang teregistrasi Nomor 92/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Burhanudin, seorang dosen yang pernah mengikuti seleksi hakim ad hoc di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 2016. Adapun norma yang diujikan yakni Pasal 13 huruf a UU KY.
Baca Juga:
Menguji Kewenangan KY Mengusulkan Pengangkatan Hakim Ad Hoc
Dalam sidang dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan, Zainal Arifin Hoesein selaku kuasa Pemohon menjelaskan telah memperbaiki permohonan sesuai saran hakim pada persidangan sebelumnya. “Perbaikan permohonan sudah kami sampaikan. Pertama adalah kaitannya dengan kewenangan Mahkamah bahwa pemohon melakukan perbaikan dengan mengubah pasal Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar pengujian yaitu hanya pasal 24B ayat (1) dan pasal 28D ayat (1),” urai Zainal.
Kemudian, sambung Zainal, pemohon juga telah menguraikan Pasal 13 huruf a UU KY yang dimohonkan serta menguraikan pasal 24B Ayat (1) dan 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menjadi dasar pengujian sesuai pada permohonan yang terdapat pada halaman 3 dan 4. Selain itu, menurut Zainal, pemohon juga telah menguraikan kerugian hak konstitusional Pemohon terhadap frasa “dan hakim ad hoc” dalam pasal 13 huruf a UU KY yang pada pokoknya kerugian hak konstitusional pemohon tidak terletak pada lulus atau tidaknya Pemohon dalam seleksi calon hakim ad hoc di MA oleh KY melainkan kepada kewenangan dari lembaga yang melakukan seleksi.
Menurutnya, lembaga yang melakukan seleksi adalah lembaga yang secara konstitusional atau sesuai UUD 1945 tidak memiliki kewenangan. Pada pasal 24B ayat (1) secara limitatif telah membatasi kewenangan KY yang hanya mengusulkan hakim agung dan tidak mengusulkan hakim lain termasuk hakim ad hoc. Dengan kewenangan KY melakukan seleksi calon hakim ad hoc berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh UU KY bukan kewenangan yang diberikan UUD 1945. Sehingga, hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan hak atas jaminan perlindungan dan kepercayaan hukum yang adil sebagaimana diatur dalam pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan oleh ketentuan frasa “dan hakim ad hoc” dalam Pasal 13 huruf a UUD.
Lebih lanjut Zainal mengatakan, pada pokok permohonan pemohon juga memperbaiki sesuai nasihat hakim dan fokus pada pertentangan norma frasa “dan hakim ad hoc” dalam pasal 13 huruf a UU KY dengan pasal 24B ayat (1). Pemohon tidak lagi berfokus pada hanya hakim ad hoc Tipikor tetapi hakim ad hoc sebagaimana ditentukan dalam pasal 13 huruf a UU KY. Menurut Pemohon, frasa “dan hakim ad hoc” dalam UU a quo jelas bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) terlebih terkait dengan kewenangan KY telah diputus oleh dua putusan MK yaitu putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 dan putusan MK Nomor 43/PUU-XIII/2015 maka secara inskonstitusional bertentangan dengan UUD 1945.
Sebelumnya, pemohon merasa hak dirugikan oleh ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY, khususnya frasa “dan hakim ad hoc”. “Hak Konstitusional pemohon yang dijamin oleh UU telah dilanggar dengan berlakunga ketentuan pasal 13. Selain itu aturan hukum dalam UU a quo yang menyamakan hakim ad hoc dengan Hakim Agung, merupakan pelanggaran konstitusional terhadap Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945.
Pemohon melalui kuasa hukumnya, Zainal Arifin Hoesein menyatakan, hakim ad hoc pada MA tidak sama dengan hakim agung baik status, fungsi, dan kewenangan yang melekat pada jabatannya. Jabatan hakim ad hoc pada MA tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan jabatan hakim agung. Model seleksi terhadap hakim ad hoc, khususnya Tipikor yang dilakukan oleh MA yang diatur dalam UU Pengadilan Tipikor, sebelum berlakunya ketentuan UU KY, lebih memberikan jaminan kepastian hukum dan sesuai kompetensi seorang hakim ad hoc di bidang tertentu sebagaimana yang dibutuhkan oleh MA.
Lebih lanjut Zainal menjelaskan, Pengadilan Tipikior bernaung di MA sebagai pengadilan khusus di bawah lembaga peradilan umum. Menurutnya, kebijakan negara dalam menghadapi korupsi yang sudah menjadi kejahatan luar biasa adalah dengan membentuk lembaga negara independen, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Guna mendukung kinerja KPK, sambung Zainal, maka dibentuk pengadilan khusus yang diletakkan pada MA di bawah lembaga peradilan umum.
Ketentuan hakim ad hoc merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kewenangan MA baik yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 maupun Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Dengan adanya ketentuan Pasal 13 huruf a UU a quo, maka Pembentuk Undang-Undang secara expressis verbis telah memperluas kewenangan KY yang semula hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung juga mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di MA. Dengan demikian, memperlakukan seleksi yang sama antara calon hakim MA dengan hakim ad hoc yang memiliki perbedaan baik secara struktural, maupun status merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai keadilan.
Selain itu, mendasarkan ketentuan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUUXIII/2015, tanggal 7 Oktober 2015, maka telah ternyata ketentuan Pasal 13 huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial inkonstitusional, sehingga Pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY harus bertentangan secara konstitusional dengan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.