JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) pada Senin (23/11/2020) secara virtual. Sidang pemeriksaan perkara Nomor 98/PUU-XVIII/2020 yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul ini dimohonkan oleh Alamsyah Panggabean. Dalam permohonan, Alamsyah menyatakan Pasal 15 UU HAM yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangs, dan negaranya,” bertentangan dengan UUD 1945.
Alamsyah mengungkapkan, berpedoman pada Pasal 13 ayat (1) UU Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Padang Lawas di Provinsi Sumatera Utara (UU 38/2007) menyatakan “Pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Padang Lawas untuk pertama kali dilakukan dengan cara penetapan berdasarkan perimbangan hasil perolehan suara partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2014 yang dilaksanakan di Kabupaten Tapanuli Selatan,” maka pengisian anggota DPRD Kabupaten Padang Lawas untuk pertama kalinya juga harus dilakukan dengan cara penetapan.
“Atas dasar hal ini, Pemohon meminta agar diberikan perlakuan yang sama sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UU 38/2007 tersebut, untuk ditetapkan sebagai anggota DPRD guna mencapai persamaan dan keadilan baginya sebagaimana diamanatkan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945,” sampai Alamsyah yang hadir secara virtual tanpa didamping kuasa hukum.
Ditinjau dari landasan sosiologis, Alamsyah mengatakan dari pembentukan UU HAM ini termuat harapan agar setiap manusia harus saling berpikir dan bertindak demi kepentingan bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini sejatinya merupakan suatu bentuk dari tindakan afirmatif sebagai jalan keluar bagi setiap orang yang ingin berpikir dan bertindak demi kepentingan bersama serta demi tegaknya hak asasi manusia pada setiap warga negara. Untuk itu, Pemohon meminta agar Mahkamah memberikan pengaturan mengenai hak pengembangan diri secara pribadi yang termuat dalam Pasal 15 UU HAM tersebut khususnya frasa “secara pribadi” diartikan sebagai Peraturan Pemerintah.
Persoalan Norma
Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul memberikan catatan nasihat berupa permasalahan kerugian konstitusional Pemohon yang bersifat khusus, baik aktual maupun potensial dengan berlakunya norma a quo. Menurut Manahan, hal ini berkaitan dengan legal standing Pemohon dalam mengajukan perkara a quo.
Berikutnya Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mempertanyakan norma yang diujikan oleh Pemohon, apakah Pasal 15 UU HAM atau persoalan lain. Enny juga mempertanyakan poin utama yang dipermasalahkan, sehubungan dengan permintaan Pemohon kepada Mahkamah agar dirinya ditetapkan sebagai anggota DPRD. Berikutnya, Enny mempertanyakan hal yang dipermasalahkan dari pengujian apakah frasa tertentu atau pasal secara keseluruhan dari UU a quo.
“Apakah dalam hal ini yang akan dipermasalahkan frasa atau pasal secara keseluruhan? Karena jika mencermat permohonannya, yang diminta ditafsirkan adalah frasa, tetai juga terdapat permintaan untuk membatalkan pasal a quo. Jadi, ini yang dimohonkan yang mana?” tanya Enny.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta Pemohon mempertimbangkan kembali permohonannya. Mengingat hal ini bukanlah kewenangan dari MK untuk menetapkan peran serta seorang warga negara dalam suatu ketetapan norma UU atau peraturan undang-undang di bawahnya. Usai mendapatkan nasihat dari seluruh Hakim dalam Majelis Sidang Panel ini, Pemohon diberi kesempatan untuk menyempurnakan permohonanya dengan menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Senin, 7 Desember 2020 pukul 14.00 WIB ke Kepaniteraan MK.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.