JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi narasumber dalam kegiatan Webinar Nasional dengan tema “Fenomena Meningkatnya Jumlah Calon Tunggal Dalam Pilkada di Indonesia”, pada Sabtu (21/11/2020) pagi. Kegiatan ini digelar oleh Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya secara virtual.
Dalam penyelesaian sengketa pilkada calon tunggal, Saldi mengatakan tidak ada perbedaan mendasar dengan sengketa bukan calon tunggal. Namun, apabila ditilik, perbedaan terdapat pada pemohon untuk kotak kosong, yakni pemantau pemilihan yang terverifikasi.
“Hal tersebut dikarenakan tidak ada yang mewakili kotak kosong itu maka pemantau yang secara resmi mewakili kotak kosong. Ketika penyelesaian sengketa di Makassar ketika kotak kosong menjadi pemenang, yang menjadi pihak terkaitnya juga pemantau,” ujar Saldi kepada sekitar 500 peserta daring.
Lebih lanjut Saldi mengatakan, MK sudah mempersiapkan segala hal terkait adanya kemungkinan permohonan sengketa setelah pemungutan suara desember mendatang. Menurutnya, hal yang dilakukan pertama oleh MK, yakni memberikan pelatihan kepada pihak-pihak yang mungkin akan menjadi orang yang terlibat dalam penyelesaian sengketa di MK. “Jadi kita sudah dan sedang dilakukan bimbingan teknis dengan KPU, Bawaslu, partai politik, advokat oleh MK,” ujarnya.
Alternatif Persidangan
Di luar itu, sambung Saldi, secara teknis yang belum diputuskan hingga hari ini mengenai penyelenggaraan persidangan. MK masih menunggu perkembangan situasi dan kondisi untuk memutuskan akan menggelar sidang sengketa pemilihan hasil kepala daerah dilakukan secara online ataupun offline.
Saldi mengungkapkan ada beberapa alternatif yang akan dilakukan MK. Misalnya, persidangan tetap dilakukan offline seperti biasa, namun nantinya akan terbentur mengenai pelaksanaan protokol kesehatan. Sementara pilihan menggelar sidang secara online akan sulit karena menyelesaikan sengketa pemilihan kepala daerah merupakan penanganan kasus konkrit. Beda halnya dengan penyelesaian pengujian undang-undang yang menilai masalah norma, bukan kasus konkret seperti sengketa pemilihan kepala daerah.
“Biasanya on the spot proses persidangan di MK melakukan cara-cara sederhana. Kalau ada misalnya salah satu nama lalu berbeda tanda tangannya nama tersebut diminta tanda tangan di hadapan hakim. Nanti kami akan lihat diantara formulir yang ada mana yang paling mirip tanda tangan yang ditanda tangani. Tapi kalo sidang dilakukan secara online hal itu agak sulit dilakukan. Oleh karena itu masih jadi pertimbangan kedepan,” ujar Saldi.
Selain itu, MK juga sedang mempersiapkan agar tidak terjadi penumpukan orang saat pengajuan permohonan. Kemudian, mengenai ambang batas pengajuan, Saldi mengatakan Pasal 158 UU 10/2016 tetap berlaku, tetapi dengan cara yang berbeda. Menurutnya, MK akan menilai terlebih dahulu.
“Setelah pemohon mengajukan permohonannya disertai dengan bukti-bukti. KPU menyampaikan jawabannya pada persidangan dan pihak terkait menyampaikan keterangannya nah hakim akan menilai apakah benar atau tidak. Jadi Pasal 158 dipindahkan yang tadinya di awal sebagai syarat formal sekarang dibawa ke tengah,” tandas Saldi. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari