JAKARTA, HUMAS MKRI - Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sama sekali tidak menolak privatisasi dan kompetisi, sepanjang tidak meniadakan bentuk-bentuk penguasaan negara secara kumulatif. Terlebih jika privatisasi tersebut memberikan manfaat bagi kemampuan negara dalam mendatangkan manfaat lebih besar untuk orang banyak. Mahkamah Konstitusi (MK) pun telah menegaskan, konsep penguasaan negara dalam Undang-Undang Migas mengenai pengelolaannya, termasuk melalui privatisasi tidak bertentangan dengan konstitusi. Hal tersebut diungkapkan oleh Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum PT Pertamina Persero sebagai Pihak Terkait dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). Sidang kelima perkara yang teregistrasi Nomor 61/PUU-XVIII/2020 ini digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (9/11/2020). Permohonan ini diajukan oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB). Pemohon mendalilkan aturan mengenai privatisasi BUMN sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Privatisasi Anak Perusahaan Pertamina
Lebih lanjut, Yusril menyebutkan dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN yang diuji ole Pemohon tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Karena di dalamnya tidak mereduksi penguasaan negara, untuk memberikan manfaat sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sejatinya konsep penguasaan negara dalam bentuk pengelolaan, sambung Yusril, merupakan wujud dari pelaksanaan kedaulatan negara atas cabang-cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak.
“Hal ini adalah konsekuensi pengakuan kita sebagai negara hukum sehingga penguasaan dalam bentuk pengelolaan itu bukanlah didasarkan pada kekuasaan semata, melainkan oleh hukum konstitusi. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan telah menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara bukan dalam konteks kepemilikan, melainkan oleh hukum diberikan hak menguasai dalam bentuk perumusan kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan,” jelas Yusril dalam sidang yang diikuti seluruh peserta sidang secara virtual.
Baca juga: Pemerintah: Penjualan Saham Anak Perusahaan Persero Bukanlah Privatisasi
Kemakmuran Rakyat
Yusril juga menerangkan bahwa berpedoman pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang telah menegaskan sumber penguasaan yang dimaksudkan berupa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Dalam Pembukaan UUD 1945 juga telah ditentukan arah tujuan pelaksanaan kedaulatan, yakni memajukan kesejahteraan umum. Artinya, penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Atas dasar itu, jelas Yusril, negara menguasai bumi, air, dan kekayaan alam di dalamnya bukan saja untuk kepentingan negara sendiri, melainkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
“Dengan kata lain, penguasaan negara dalam bentuk pengelolaan tidak dapat dinilai secara sempit dalam batas-batas rangka kepemilikan perdata semata, Tolok ukurnya adalah bagaimana negara dalam pengelolaannya dapat memaksimalkan peran mengejar sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” jelas Yusril pada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman bersama dengan delapan hakim konstitusi lainnya dari Ruang Sidang Pleno MK.
Secara jelas Yusril pun mengatakan bahwa UUD 1945 tidak menolak privatisasi, terutama terhadap cabang produksi minyak dan gas. MK pun menegaskan barometer penguasaan negara berbentuk pengelolaan dalam bentuk penyertaan saham pada perusahaan cabang produksi tidak harus mayoritas mutlak 100%, melainkan mayoritas relatif. Dengan makna sepanjang negara tetap dapat posisi menentukan proses pengambilan atas penentuan kebijakan badan usaha yang bersangkutan, sebagaimana dikemukakan dalam pertimbangan Putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003.
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN mengatur mengenai larangan terhadap perusahaan persero yang bidang usahanya diatur dalam pasal a quo untuk diprivatisasi. Pemohon beranggapan PT Pertamina (Persero) merupakan perusahaan persero yang berdasarkan Akta Perubahan Anggaran Dasar Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina Nomor 27 tanggal 19 Desember 2016 memiliki kegiatan usaha di bidang penyelenggara usaha energi sehingga termasuk perusahaan persero yang dilarang untuk diprivatisasi berdasarkan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN. Bisnis PT Pertamina (Persero) terintegrasi dari hulu ke hilir yaitu mulai proses hulu/eksplorasi/upstream, pengolahan/kilang/refinery, pemasaran/trading, dan distribusi/transportasi/perkapalan.
Pemohon menilai Pemerintah dalam rangka strategi menguatkan daya saing, peningkatan nilai, perluasan jaringan usaha dan kemandirian pengelolaan BUMN seharusnya dapat membentuk perusahaan induk BUMN/Perusahaan Grup/Holding Company. Salah satu tindakan nyatanya adalah membentuk dan menetapkan Subholding dan Anak Perusahaan PT Pertamina (Persero) sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Direksi Pertamina (Persero) Nomor Kpts-18/C00000.2020-SO tentang Struktur Organisasi Dasar PT. Pertamina (Persero), yaitu Subholding Upstream, Refining, Petrochemical, Comercial, Trading, Gas, Power NRE, dan Shipping Co. Privatisasi telah direncanakan oleh pemerintah yang akan melakukan Initial Public Offering (IPO) kepada anak dan cucu usaha PT. Pertamina Persero di level subholding. Sebelum menutup persidangan, Anwar mengatakan sidang berikutnya akan digelar pada Senin, 23 November 2020 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengar keterangan DPR dan Ahli Pemohon.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Lambang S