JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (3/11/2020) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli Pemohon dan Ahli Pihak Terkait.
Sidang Perkara yang teregistrasi Nomor 67/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Mohammad Kilat Wartabone dan Imran Ahmad. Materi yang diujikan para Pemohon yaitu Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada khususnya frasa “belum pernah menjabat sebagai Gubernur/Bupati/Walikota…”
Baca Juga:
Manakala Satu Periode Masa Jabatan Kepala Daerah Dipermasalahkan
Ahli Pemohon, Muhtadi menerangkan bahwa perhitungan masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk dapat atau tidak dapat dicalonkan kembali dalam jabatan yang sama, telah menjadi yurisprudensi berdasarkan dua Putusan MK yakni Putusan Nomor 8/PUU-VI/2008 dan Putusan Nomor 22/PUU-VII/2009. “Ahli berpegang dan menghormati dua putusan tersebut. Namun demikian, terhadap makna satu periode masa jabatan yang dihitung dengan 2,5 tahun atau lebih dari sisa masa jabatan yang belum dijalankan berdasarkan waktu pelaksanaan pelantikan. Sebagaimana dimaksud penjelasan Pasal 38 ayat (1) huruf O PP No. 5 Tahun 2005 yang dijadikan pertimbangan Perkara No. 22, perlu dilakukan pembacaan kembali agar sesuai dengan praktik ketatanegaraan yang menuntut penyesuaian dengan peristiwa konkret,” urai Muhtadi kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Muhtadi melanjutkan, salah satu bentuk institusi yang diatur dalam Konstitusi adalah pemerintahan daerah yang terdapat dalam Bab VI, mulai Pasal 8, Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD 1945. “Salah satu syarat yang menjadi pokok permohonan dalam Perkara Nomor 67/PUU-XVIII/2020 adalah Pasal 7 ayat (2) huruf n Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yaitu belum pernah menjabat sebagai gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, dan calon wakil bupati, calin wali kota, dan calon wakil wali kota,” jelas Muhtadi selaku analis politik.
Sedangkan terkait dengan kewenangan kepala daerah atau wakil kepala daerah, sambung Muhtadi, secara tegas dalam Pasal 65 ayat (4) Undang-Undang Pemerintahan Daerah disebutkan, “Apabila kepala daerah sedang menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara, wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah.” Demikian juga tidak terdapat perbedaan antara kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah, termasuk larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah, termasuk pemberhentian yang diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
“Dengan tidak adanya perbedaan pengaturan antara tugas, kewenangan, kewajiban, serta larangan antara kedua jabatan tersebut, maka perhitungan satu masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 perlu dilakukan penyempurnaan atau pembacaan kembali yaitu dengan mempertimbangkan keadilan substansial dalam pelaksanaan kewenangan, sehingga dengan demikian apabila terdapat calon wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri kembali, tetapi pada saat bersamaan yang bersangkutan menduduki jabatan untuk meneruskan sisa masa jabatan karena kepala daeranya berhalangan, maka perhitungan sisa masa jabatan yang dihitung sebagai satu periode jabatan berjalan adalah sejak menjalankan tugas, kewenangan, kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Bukan dihitung sejak pelantikan melaksanakan jabatan kepala daerah,” papar Muhtadi.
Baca Juga:
Calon Kepala Daerah Perbaiki Permohonan UU Pilkada
Sementara Ahli Pihak Terkait, Djohermansyah Djohan menyampaikan bahwa aturan main syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dirumuskan pemerintah dan DPR dalam Pasal 7 ayat (2) huruf m Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sudah cukup baik. “Tetapi mengapa masih digugat oleh seorang wakil bupati pula yang seharusnya memahami dengan baik ketentuan pasal tersebut. Aturan itu sejauh pengetahuan Ahli, tidak dibuat sembarang buat, tetapi dikaji pemerintah secara mendalam dan diputuskan dengan pertimbangan yang matang guna mencegah abuse of power dan menjamin suksesi kepala daerah secara berkala, aman, dan damai. Sehingga dengan demikian tidak terjadi kegaduhan, tidak terjadi kemacetan jalannya roda pemerintahan, dan bahkan merugikan masyarakat,” tegas Djohermansyah selaku pakar otonomi daerah.
Dikatakan Djohermansyah, telah dua kali pula Undang-Undang Pilkada itu diubah, tidak pernah pasal tersebut dipersoalkan. Namun ia memahami dalam dua dasawarsa, usia otonomi daerah di Indonesia telah terjadi berbagai macam masalah. Ada kendala, ada kelemahan dan kekurangan yang tentu perlu dikoreksi dan diperbaiki dari waktu ke waktu, lewat perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
“Apakah formulasinya yang kurang lengkap, kurang detail, kurang antisipatif, atau implementasinya oleh para aktor di lapangan yang menyimpang. Beberapa di antaranya yang menonjol adalah persoalan tarik-menarik kewenangan, soal perdebatan masalah, korupsi kepala daerah, soal pecah kongsi kepala daerah dan wakilnya, dan bahkan juga soal caretaker atau acting kepala daerah. Yang lazimnya secara normatif disebut istilah Pj (penjabat), bukan pejabat, atau disebut juga dengan Pjs (penjabat sementara), Plt (pelaksana tugas), dan Plh,” ungkap Djohermansyah.
Baca Juga:
DPR: Kepala Daerah Terlalu Lama Berhalangan Harus Diberhentikan
Sedangkan Ahli Pihak Terkait lainnya, Yohanes Usfunan selaku pakar hukum tata negara mengatakan bahwa dalam kondisi normal seorang bupati kepala daerah dapat menjalankan kepemimpinannya dalam satu periode, yaitu selama 5 tahun yang ditegaskan dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Namun, kemudian yang menjadi masalah ketika masa kepemimpinan seorang bupati tidak penuh dijalankan karena suatu halangan tetap.
“Dalam kaitan ini apabila seorang bupati berhalangan karena meninggal atau wafat tadi, untuk menjalankan roda kepemimpinan daerah selanjutnya dijalankan oleh wakil bupati yang kemudian ditetapkan sebagai bupati sampai berakhir masa jabatan. Namun, ketentuan terkait durasi kepemimpinan seorang wakil bupati yang kemudian ditetapkan sebagai bupati pengganti berpotensi menimbulkan masalah karena ketidakjelasan mengenai penentuan pembatasan limit waktu satu periode itu,” ucap Yohanes.
Ketidakjelasan durasi kepemimpinan satu periode ini, kata Yohanes, kemudian menimbulkan masalah dan dimohonkan oleh Pemohon I dan Pemohon II. Bupati Kabupaten Bone Bolango, Hamim Pou, menjalankan masa kepemimpinannya sebagai bupati pengganti mulai 27 Mei 2013 - 17 September 2015 sesuai Berita Acara Pengucapan Sumpah. Maka dalam tenggat waktu tersebut Hamim Pou sebagai bupati pengganti dapat dikategorikan telah menjalankan satu periode kepemimpinan sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon.
“Berdasarkan permohonan peninjauan oleh Pemohon I dan Pemohon II tersebut dengan menggunakan interpretasi analogi, maka permohonan peninjauan semacam ini sama artinya dengan permohonan yang sama pada Pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang kemudian telah dituangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22 Tahun 2009,” imbuh Yohanes.
Yohanes menandaskan, pengaturan Pasal 7 ayat (2) huruf n tersebut yang menjadi objek dalam permohonan peninjauan ini apakah bertentangan atau tidak bertentangan dengan UUD 1945. Secara historis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22 Tahun 2009 yang sudah menjadi yurisprudensi, tentunya dapat dipakai sebagai dasar bahwa dalam putusan tersebut dinyatakan, ‘Tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menyatakan, masa jabatan yang dihitung satu periode dalam masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih setengah masa jabatan’. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, jelas ukuran masa jabatan kepemimpinan bupati pengganti satu periode di Indonesia sesuai putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yaitu setengah atau lebih setengah masa jabatan.
Baca Juga:
Pemerintah Tegaskan Masa Jabatan Kepala Daerah Hanya Dua Periode
Sebagaimana diketahui, permohonan uji materi UU Pilkada ini diajukan oleh Mohammad Kilat Wartabone dan Imran Ahmad. Mohammad Kilat Wartabone merupakan bakal calon kepala daerah yang mendapatkan dukungan melalui jalur perseorangan untuk maju dalam Pilkada Serentak Tahun 2020 di Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Sedangkan Imran Ahmad adalah penduduk Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, yang mempunyai hak untuk dipilih (right to be candidate) sekaligus hak untuk memilih (right to vote) dalam Pilkada Serentak Tahun 2020.
Para Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 khususnya frasa “belum pernah menjabat sebagai Gubernur/Bupati/Walikota …” yang pemaknaannya berlaku untuk subjek hukum Gubernur/Bupati/Walikota saja. Makna dari norma tersebut dibatasi hanya untuk menghitung masa jabatan subjek hukum yang pernah menjabat sebagai kepala daerah saja, tetapi tidak berlaku untuk subjek hukum wakil kepala daerah yang menjadi pejabat kepala daerah dengan tugas dan wewenangnya sebagai kepala daerah. Padahal dalam satu periode masa jabatan, menurut para Pemohon, terdapat subjek hukum yang menjabat sebagai kepala daerah yakni (1) Gubernur/Bupati/Walikota itu sendiri, dan/atau (2) Wakil Gubernur/Bupati/Walikota yang menjadi pejabat kepala daerah.
Baca Juga:
Ahli: Jabatan Kepala Daerah Tak Boleh Lebih 10 Tahun
Secara aktual, para Pemohon mengalami kerugian atas praktik ketatanegaraan kepala daerah di Kabupaten Bone Bolango. Bupati Bone Bolango terpilih Periode 2010-2015, Abdul Haris Nadjmudin, diberhentikan sementara karena tersangkut perkara pidana sehingga Wakil Bupati Hamim Pou diberi wewenang menjalankan pemerintahan sebagai pejabat bupati sejak 18 September 2010-27 Mei 2013. Dalam rentang waktu 2 tahun 3 bulan, Bupati Abdul Haris Nadjmudin meninggal dunia sehingga Hamim Pou menjadi bupati pengganti sejak 27 Mei 2013-17 September 2015.
Pada Periode 2016-2021, Hamim Pou terpilih menjadi Bupati satu periode untuk masa jabatan 17 Februari 2016-17 Februari 2021. Kemudian pada Pilkada Serentak 2020 nanti, Hamim Pou yang merupakan ketua salah satu partai dicalonkan kembali menjadi Bupati Bone Bolango Periode 2021-2026.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Lambang TS.
Foto: Gani.