JAKARTA, HUMAS MKRI - Praktik penyusunan anggaran pada masa darurat di berbagai negara di dunia memang dibutuhkan kecepatan untuk bersegera mengatasi dampak dari keadaan darurat tersebut. Namun, hal ini tentu saja tidak boleh mengabaikan aspek transparansi dan akuntabilitas. Hal ini disampaikan oleh Yuna Farhan selaku Ahli Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 dalam dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (UU Penanganan Covid-19) yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (15/10/2020).
Dalam keterangan berjudul “Politik Anggaran Konstitusional di Masa Pandemi“, Yuna yang merupakan Country Manager of International Budget Partnership (IBP) menjabarkan secara sederhana praktik politik penganggaran di Indonesia. Pada masa kebuntuan ini, sambung Yuna, dilakukannya upaya jalur cepat persetujuan anggaran telah dilakukan oleh beberapa negara. Misalnya, Inggris melakukan percepatan menjadi 4 hari yang sebelumnya membutuhkan waktu 11 minggu dan Swedia melakukan percepatan pula menjadi 2 hari jika sebelumnya membutuhkan waktu beberapa minggu.
“Pemangkasan waktu ini sebenarnya memilliki risiko dimanfaatkannya oleh Pemerintah suatu upaya untuk memasukkan anggaran yang tidak berkaitan dengan penanggulangan keadaan darurat atau dapat juga dikatakan terdapat ruang yang luas bagi Pemerintah untuk melakukan beberapa improvisasi anggaran,” jelas Yuna.
Baca juga: Sejumlah LSM dan Peneliti Menguji UU Covid-19
Ruang Diskresi
Diungkapkan Yuna bahwa dalam praktik berbagai upaya negara di dunia melakukan kontrol terhadap penggunaan dana darurat ada beberapa pilihan. Salah satunya di Belanda, Swedia, dan Swiss mengunakan dana darurat di awal dan persetujuan dari legislatif di akhir. Ada pula negara yang membentuk komite khusus Covid-19 atau memberikan kekuasaan penuh pada komite terkait dalam mengelola dana darurat, seperti yang dipilih Norwegia, Israel, dan Spanyol. Sementara itu ada pula negara yang memberikan batasan tertentu atas dana darurat yang dialokasikan seperti yang dilakukan Australia, sedangkan beberapa negara lainnya seperti Kanada, Swedia dan Irlandia justru memberikan batasan waktu atau pembaruan masa darurat.
“Sehingga di negara-negara tersebut terjadwal monitoring dan laporan yang dilakukan secara rutin. Jika waktu dan dana yang ditetapkan dan dialokasikan tidak memadai atau memadai, maka akan dibahas kembali oleh legislatifnya,” terang Yuna di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Baca juga: Pemohon Uji UU Covid-19 Pertegas Argumentasi Permohonan
Tidak Ada Batasan Defisit
Sementara itu, di Indonesia sendiri Yuna mengamati ruang lingkup diskresi Pemerintah berdasarkan UU Penanganan Covid-19 ini terlihat pada APBN Tahun 2020 yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (2) UU a quo. Namun, pelonggaran batasan defisit di atas 3% dibuat hingga Tahun Anggaran 2022 dan tidak terdapat pula batas atas defisit yang dimaksudkan tersebut. Di samping itu, Yuna juga melihat tidak ada batasan waktu diskresi yang ditetapkan dalam melakukan pergeseran anggaran dan pengeluaran yang sejatinya belum tersedia. Ia pun melihat bahwa proses usulan kegiatan penanganan Covid-19 ini hanya dibahas internal pada kementerian dan lembaga ke Kementerian Keuangan. Sehingga dalam pandangannya, hal ini dapat saja berakibat pada pejabat perbendaharaan dan BNPB melakukan tindakan yang membebani pengeluaran APBN yang anggarannya tidak tersedia atau bahkan tidak memadai.
“Jika dicermati napas dari Perpu ini perlu dilakukan tindakan darurat dalam UU APBN 2020, tetapi dalam batas defisit justru dilakukan hingga 2022 dan tidak ada batas defisit. Padahal ini diperlukan untuk keberlanjutan fiskal. Mengapa kita 3%? Karena krisis Tahun 1997 dan 1998 mengajarkan pada kita bagaimana rupiah dan perekonomian anjlok. Maka dari itu perlu dibuatkan paket keuangan negara yang memberikan batasan utang dalam hal untuk penanganan Covid-19 ini,” jelas Yuna.
Baca juga: Guratan Tanda Tangan Mencurigakan dalam Uji UU Covid-19
Prinsip Akuntanbilitas
Yuna juga melihat bahwa akibat dari perubahan APBN Tahun 2020 untuk penanganan pandemi yang tanpa undang-undang ini perlu diperhatikan dengan saksama. Menurutnya, dampaknya adalah tidak adanya proposal atau nota keuangan perubahan anggaran, tidak adanya penjelasan terkait anggaran yang direlokasi oleh lembaga atau kementerian yang menganggarkan penanganan pandemi, serta tidak adanya pembahasan di DPR dan tidak ada pula dengar pendapat.
“Konsekuensi tidak ada proposal dan nota keuangan ini adalah publik dan DPR tidak memiliki rincian anggaran yang digunakan Pemerintah secara pasti. Hal ini cukup memberikan risiko pada prinsip akuntabilitas bahwa setiap rupiah harus dipertanggungjawabkan untuk apa,” terang Yuna.
Pada akhir keterangannya Yuna menyatakan terjadinya pelebaran defisit yang ada pada saat ini lebih disebabkan berkurangnya pendapatan negara dan terjadinya peningkatan belanja negara. Hal ini sesungguhnya terjadi bukan terkait penanganan Covid-19, tetapi akibat adanya penurunan PPh badan yang termaktub dalam pasal UU a quo. Yuna berpendapat bahwa sebelum adanya Covid-19, Pemerintah pun telah merencanakan pemotongan PPh badan dan hal ini menjadi sama sekali tidak terkait dengan penanganan darurat Covid-19.
Baca juga: Dana Desa Ditunda, Dua Kepala Desa Gugat UU Covid-19
Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Anwar menyampaikan persidangan berikutnya akan digelar pada Kamis, 22 Oktober 2020 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan satu orang Ahli dari Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 serta 2 orang Ahli dan 3 orang Saksi dari Pemohon perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 secara virtual.
Sidang yang dilaksanakan secara virtual ini digelar untuk tujuh perkara yakni Nomor 37/PUU-XVIII/2020, Nomor 42/PUU-XVIII/2020, Nomor 43/PUU-XVIII/2020, Nomor 45/PUU-XVIII/2020, Nomor 47/PUU-XVIII/2020, Nomor 49/PUU-XVIII/2020, dan Nomor 75/PUU-XVIII/2020. Agenda sidang keempat ini untuk mendengarkan keterangan DPR dan Ahli yang dihadirkan Yayasan Penguatan Partisipasi, dkk dari perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020. Dalam tujuh permohonan yang diajukan para Pemohon dalam pengujian UU Penanganan Covid-19 ini, sebagian besar pasal dalam Lampiran UU Penanganan Covid-19 dimohonkan untuk diuji karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Sebagaimana diketahui, permohonan Nomor 37/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), serta Pemohon perorangan yaitu Desiana Samosir, Muhammad Maulana, dan Syamsuddin Alimsyah. Sedangkan Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020, Iwan Sumule dan 49 Pemohon lainnya selaku aktivis Pro Demokrasi (ProDEM). Sementara, Pemohon Perkara 43/PUU-XVIII/2020, Ahmad Sabri Lubis dan 9 Pemohon lainnya sebagai perorangan warga negara Indonesia. Kemudian Pemohon Perkara 45/PUU-XVIII/2020 dan Perkara Nomor 49/PUU-XVIII/2020, yaitu Sururudin dan Damai Hari Lubis selaku advokat. Adapula Pemohon perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020, yakni Triono dan 26 Pemohon lainnya yang menjabat sebagai kepala desa dan anggota badan permusyawaratan desa. Sementara Permohonan perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh 47 Pemohon, di antaranya M. Sirajuddin Syamsuddin, Sri Edi Swasono, HM. Amien Rais. Tujuh permohonan tersebut mendalilkan bahwa UU Penanganan Covid-19 cacat secara formil dan materiil sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Fitri Yuliana