JAKARTA, HUMAS MKRI - Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Perpu Nomor 1 Tahun 2020) menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 (UU Penanganan Covid-19) diharapkan memberikan fondasi hukum bagi Pemerintah terhadap otoritas perbankan dan keuangan untuk mengambil langkah luar biasa, khususnya bagi kebijakan penetapan batasan defisit anggaran dan penggeseran unit keuangan dalam situasi pandemi. Keterangan tersebut disampaikan oleh Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mewakili DPR dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (UU Penanganan Covid-19) yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (15/10/2020).
Sidang yang dilaksanakan secara virtual ini digelar untuk tujuh perkara yakni Nomor 37/PUU-XVIII/2020, Nomor 42/PUU-XVIII/2020, Nomor 43/PUU-XVIII/2020, Nomor 45/PUU-XVIII/2020, Nomor 47/PUU-XVIII/2020, Nomor 49/PUU-XVIII/2020, dan Nomor 75/PUU-XVIII/2020. Agenda sidang keempat ini untuk mendengarkan keterangan DPR dan Ahli yang dihadirkan Yayasan Penguatan Partisipasi, dkk dari perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020. Dalam tujuh permohonan yang diajukan para Pemohon dalam pengujian UU Penanganan Covid-19 ini, sebagian besar pasal dalam Lampiran UU Penanganan Covid-19 dimohonkan untuk diuji karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Lebih lanjut Misbakhun mengatakan, Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang dikeluarkan Pemerintah pada 31 Maret 2020 karena keadaan genting dan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum serta menyelamatkan negara dari krisis. Untuk itu, lanjutnya, diperlukan pemberian kewenangan bagi Pemerintah untuk dapat melakukan realokasi anggaran, yang telah dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2020. Hal ini bersifat segera untuk dilakukan pada program yang mendukung pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi.
Dikatakan Misbakhun bahwa urgensi dibentuknya Perpu merupakan pertimbangan subjektif dari Presiden karena sebagai pihak yang berhak membentuk aturan tersebut. Namun pertimbangan ini perlu juga dinilai objektif oleh rakyat melalui DPR sebagai wakil rakyat. Atas dasar hal inilah DPR telah nyata menilai dan melihat adanya unsur mendesak ehingga perlu diberikan persetujuan atas Perpu menjadi undang-undang sehingga dapat digunakan Pemerintah sebagai dasar hukum yang kuat dalam menghadapi situasi pandemi.
Baca juga: Sejumlah LSM dan Peneliti Menguji UU Covid-19
Secara Formil
Terkait pengujian formil UU Penanganan Covid-19 ini, Misbakhun menjelaskan berdasarkan kewenangan MK yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, maka batu uji yang digunakan MK untuk melakukan pengujian ini harus berdasarkan pada Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut intinya menyatakan setiap rancangan undang-undang yang dibahas DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama dalam ketentuan tersebut merupakan berlakunya asas legalitas atas terbentuknya suatu undang-undang. Apabila terbentuknya undang-udang telah adanya persetujuan bersama dan tidak adanya kegagalan dalam mendapatkan persetujaun bersama tersebut, maka undang-undang tersebut menjadi sah secara formil.
“Maka sesuai landasan konstitusional kewenangan MK dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 hanya dapat dinyatakan catat prosedur jika bertentangan dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945,” jelas Misbakhun secara virtual dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Baca juga: Pemohon Uji UU Covid-19 Pertegas Argumentasi Permohonan
Batas Waktu
Sementara terkait permohonan Pemohon perkara Nomor 45/PUU-XVIII/2020 dan Nomor 75/PUU-XVIII/2020 yang mendalilkan pembatasan waktu 45 hari harus dikesampingkan, DPR berpendapat hal ini terkait dengan hukum acara pembatasan 45 hari dalam pengajuan uji formil di MK yang merupakan materi yang telah diatur dalam undang-undang. Apabila oleh pembentuk undang-undang belum diatur, maka MK dapat mengatur hukum acara yang bersifat teknis dalam mengisi kekosongan hukum tersebut. Hal ini, lanjut Misbakhun, mengingat UUD 1945 tidak mungkin mengatur secara rinci hal teknis atas hari seperti yang didalilkan para Pemohon maka dari itu dibutuhkan aturan lain untuk mengatur hal tersebut dan MK berwenang menyusun hukum acara yang bersifat teknis tersebut.
“Maka terhadap pengujian perkara oleh Pemohon perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 ini sesungguhnya telah melewati batas waktu sejak diundangkannya norma a quo yakni pada 18 Mei 2020. Atas dasar fakta hukum tersebut, maka para Pemohon tidak memiliki memenuhi batas waktu 45 hari yang ditetapkan MK. Sehingga sepatutnya MK menyatakan permohonan perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 ini tidak dapat diterima,” papar Misbakhun.
Tidak Berwenang
Mengenai prosedur konstitusional yang telah dikesampingkan dengan tidak adanya DPD dalam proses pembahasan untuk menentukan Perpu, DPR berpendapat Perpu ini pada intinya mengatur mengenai kebijakan keuangan negara yang apabila dalam pelaksanananya berdampak pada perimbangan keuangan pusat dan daerah. Misbakhun melanjutkan hal ini merupakan konsekuensi keuangan daerah yang merupakan bagian dari keuangan negara sehingga telah jelas Perpu tidak mengatur mengenai otonomi daerah, pembentukan dan pemekaran daerah, dan pengelolaan sumber daya alam lainnya. Sehingga, pengesahan Perpu ini tidak berkewajiban untuk mengikutsertakan DPD dalam penetapan Perpu menjadi undang-undang.
“Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) maka RUU penetapan Perpu menjadi undang-undang ini bukan merupakan usulan DPD sehingga DPD tidak berwenang membahas tersebut,” jelas Misbakhun.
Baca juga: Guratan Tanda Tangan Mencurigakan dalam Uji UU Covid-19
Rapat Virtual
Selanjutnya terhadap dalil Pemohon perkara Nomor 37, 43, 75/PUU-XVIII/2020 tentang rapat virtual karena adanya pandemi Covid-19, maka DPR telah membuat Tata Tertib Tahun 2020 yang mulai berlaku sejak 2 April 2020. Dalam aturan ini dinyatakan semua jenis rapat yang diadakan DPR dihadiri anggota kecuali dalam keadaan tertentu seperti keadaan bahaya, konflik, bencana, dan keadaan lain, maka rapat dilakukan secara virtual menggunakan teknologi. Atas dasar ini, DPR melakukan Rapat Pembahasan Tingkat I pada 4 Mei 2020 dengan menggunakan teknologi informasi atau melalui rapat virtual. “Begitu juga dengan Rapat Pembahasan Tingkat II pada 12 Mei 2020 yang dilakukan dengan kombinasi, baik secara fisik hadir pada gedung DPR dan menggunakan teknologi informasi atau secara virtual,” ucap Misbakhun.
Selanjutnya berkaitan dengan dalil yang mempertanyakan tanda tangan daftar hadir anggota DPR tidak dapat dilakukan karena alasan tertentu, Misbakhun meneruskan keterangannya bahwa hal ini tetap dapat dilakukan melalui Surat Sekretaris Jenderal DPR RI. Oleh karena itu, absen dalam Rapat Paripurna dalam Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perpu menjadi undang-undang pada Rapat Paripurna 12 Mei 2020 yang dilakukan virtual tersebut telah memenuhi ketentuan undang-undang.
“Oleh karena itu dalil para Pemohon ini hanya asumsi karena jelas pembahasan dan pengesahan secara teknologi telah memiliki dasar hukum melalui Tatib DPR RI Tahun 2020. Bahwa berdasarkan risalah rapat dengan pimpinan DPR mengenai Ketetapan Perpu menjadi undang-undang ini pun telah berarti memberikan persetujuan dan mengikat para anggota yang hadir secara fisik maupun virtual,” ungkap Misbakhun.
Stabilitas Ekonomi
Sementara itu berkaitan dengan dikeluarkannya Perpu ini, Misbakhun menyebutkan bahwa hal ini merupakan kewenangan yang dikeluarkan Pemerintah yang bersifat fundamental dan berdampak pada ekonomi jangka panjang. Sehingga perlu diberikan dasar legalitas dalam bentuk undang-undang oleh DPR dalam kewenangan hak budget yang dimilikinya. Berkaitan dengan Perpu ini, sambung Misbakhun, sejatinya berfokus pada penataan ulang anggaran hingga beberapa tahun ke depan yang berdampak pada APBN. Atas dasar itulah DPR menetapkan aturan ini menjadi undang-undang dalam waktu yang cepat karena adanya kebutuhan mendesak yang berdampak pada stabilitas perekonomian nasional.
“Dengan adanya situasi pandemi bukan hanya pada kesehatan saja dibutuhkan perhatian penuh, tetapi juga perekonomian negara jangka panjang yang juga membutuhkan langkah cepat guna mengatasi keadaan darurat negara. Dengan adanya legitimasi tersebut maka Pemerintah dapat lakukan recovery perekonomian akibat pandemi seiring pula dengan percepatan penanganan pandemi ini,” tegas Misbakhun.
Penetapan Defisit
Berkaitan dengan dalil para Pemohon yang menyatakan jangka waktu penyusunan APBN hingga 2022 dan 2023, Misbakhun mengutarakan bahwa dalam Lampiran UU Penanganan Covid-19 tetap ada pembatasan. Dengan kata lain, kewenangan penetapan defisit yang melampaui ini hanya berlaku hingga Tahun Anggaran 2022. Apabila lebih dari waktu tersebut dan ketika recovery dapat berjalan lebih cepat maka besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Hal ini dapat dilihat pula pada negara-negara lain di dunia, misalnya Amerika Serikat, Singapura, dan Malaysia yang bahkan mengeluarkan stimulus fiskal hingga lebih dari 10%. Sementara Indonesia melakukan pelebaran defisit ini tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan pada masksimal 60% dari PDB sesuai dengan UU Keuangan Negara. “Besaran APBN Tahun 2021 dan 2022 dalam lampiran UU 2/2020 ini tidak diatur karena UU APBN Tahun 2021 dan 2022 belum disusun dan diundangkan ketika pengundangan norma ini. Meskipun demikian, dalam penyusunan ABPN ini tetap diberlakukan ketentuan penyusunan APBN sebagaimana mestinya nanti,” sebut Misbakhun.
Baca juga: Dana Desa Ditunda, Dua Kepala Desa Gugat UU Covid-19
Sebagaimana diketahui, permohonan Nomor 37/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), serta Pemohon perorangan yaitu Desiana Samosir, Muhammad Maulana, dan Syamsuddin Alimsyah. Sedangkan Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020, Iwan Sumule dan 49 Pemohon lainnya selaku aktivis Pro Demokrasi (ProDEM). Sementara, Pemohon Perkara 43/PUU-XVIII/2020, Ahmad Sabri Lubis dan 9 Pemohon lainnya sebagai perorangan warga negara Indonesia. Kemudian Pemohon Perkara 45/PUU-XVIII/2020 dan Perkara Nomor 49/PUU-XVIII/2020, yaitu Sururudin dan Damai Hari Lubis selaku advokat. Adapula Pemohon perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020, yakni Triono dan 26 Pemohon lainnya yang menjabat sebagai kepala desa dan anggota badan permusyawaratan desa. Sementara Permohonan perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh 47 Pemohon, di antaranya M. Sirajuddin Syamsuddin, Sri Edi Swasono, HM. Amien Rais. Tujuh permohonan tersebut mendalilkan bahwa UU Penanganan Covid-19 cacat secara formil dan materiil sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Fitri Yuliana