JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (UU Pos) di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (14/10/2020). Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 78/PUU-XVII/2020 ini diajukan oleh PT Pos Indonesia (Pemohon I) dan Harry Setya Putra (Pemohon II). Para Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 8, Pasal 15, Pasal 27 ayat (2), Pasal 30, Pasal 46, Pasal 51 UU Pos, bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2), dan Pasal 34 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Dalam sidang dengan agenda menyampaikan perbaikan permohonan ini, Tegar Yusuf A.N. selaku salah satu kuasa hukum para Pemohon menyebutkan beberapa poin perbaikan pihaknya. Salah satunya menyempurnakan status dan kedudukan Pemohon I selaku direksi yang mewakili Perseroan di dalam dan luar pengadilan. Selanjutnya, para Pemohon juga menambahkan pasal yang diujikan yakni Pasal 4 dan Pasal 29 ayat (2) UU Pos yang dinilai bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
Lebih jelas Tegar mengatakan, kedudukan hukum Pemohon I ini diperkuat oleh pihaknya dengan menyertakan Pasal 98 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) yang berbunyi, “(1) Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. (2) Dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar.”
“Di samping itu, pada Akta Pendirian Perseroan ini juga dinyatakan bahwa direksiberhak dan berwenang menwakili PT Pos Indonesia dalam perkara a quo,” kata Tegar melalui persidangan secara virtual yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Baca juga: PT Pos Indonesia Persoalkan Hilangnya Eksklusivitas Pelayanan Pos
Pada kesempatan yang sama, Widat selaku kuasa hukum para Pemohon lainnya menyebutkan bahwa Pasal 51 UU Pos bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Terkait hal ini, para Pemohon menambahkan argumentasi permohonan mengenai upaya penyehatan BUMN yang telah diatur dalam UU BUMN Pasal 1 yang menyatakan, ”Restrukturisasi adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN yang merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan.”
“Atas dasar ini, Pemohon I menilai dengan telah ditegaskan oleh norma tersebut, maka restrukturisasi agar badan usaha dapat melakukan pelayanan yang terbaik itu justru harus menghadirkan peran negara, namun pada UU Pos tersebut tidak dimaknai secara jelas dan ketat akan hal itu,” jelas Widat.
Baca juga: MK Lanjutkan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Uji UU Pos
Sebelumnya, Pemohon I mendalilkan sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang keberadaannya penting untuk menunjang pembangunan nasional. Pemohon I melakukan pelayanan surat-menyurat, pengiriman barang, dan layanan pos lainnya untuk masyarakat secara luas. Berpedoman pada UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, tujuan dari adanya Pemohon I untuk memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya serta mengejar dan menghasilkan keuntungan.
Pemohon mendalilkan adanya UU Pos terutama Pasal 1 angka 2 ini berakibat pada tidak terlaksananya tugas Pemohon I dengan sebagaimana mestinya. Menurut Pemohon I, ketentuan pasal tersebut mengartikan penyelenggaraan pos dapat dilaksanakan oleh siapa pun sepanjang telah memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai badan usaha yang menyelenggarakan pos. Akibatnya Pemohon I kehilangan hak eksklusifnya sebagai pos negara dan bahkan tidak berbeda dengan penyelenggara pos non-negara yang ada. Selain itu, Pemohon I dalam tugasnya juga dibebani kewajiban untuk memberikan pelayanan umum. Dengan dibukanya akses bebas penyelenggara pos ini, menyebabkan Pemohon I mengalami kesulitan untuk bersaing dengan banyaknya penyelenggara pos swasta yang ada saat ini.
Sementara itu, terhadap hak konstitusional Pemohon II yang merupakan perseorangan warga negara Indonesia merasa dirugikan dengan keberlakukan Pasal 1 ayat (8), Pasal 27 ayat (2), Pasal 29 ayat (2), Pasal 30, dan Pasal 46 UU Pos karena adanya perlakuan yang sama antara surat dengan kiriman jenis lainnya. Menurut Pemohon II, surat merupakan salah satu media komunikasi yang di dalamnya tercakup perlindungan hak atas privasi sehingga surat memiliki kedudukan tersendiri dibandingkan dengan kiriman lainnya. Substansinya yang berisikan informasi privat antara pengirim dan penerima surat merupakan hak asasi manusia yang secara tegas dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Akibat dari hal ini, kiriman yang dipaketkan oleh Pemohon II dapat saja dibuka dan diperiksa oleh penyelenggara pos sebelum dilakukan pengiriman pada alamat yang dituju. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta gara pasal-pasal a quo dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: Annisa Lestari