JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberikan ceramah kunci dalam acara Seminar Nasional dan Call Of Papers dengan tema “Transformasi Hukum dan Teknologi dalam Penguatan dan Ketahanan Negara di Era New Normal” pada Rabu (30/9/2020) secara virtual melalui aplikasi Zoom. Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama Fakultas Hukum UPN Veteran Jawa Timur dengan Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo.
Dalam acara tersebut, Arief menyampaikan ceramah kunci dengan tema yang spesifik sesuai dengan kedudukan dan pengalamannya sebagai Hakim Konstitusi, yaitu “Persidangan Virtual Di Mahkamah Konstitusi”. Arief menyatakan, peradilan sedapat mungkin tak boleh terhenti untuk memberikan kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan bagi pencari keadilan. Dalam segala situasi, peradilan hendaknya tetap ‘berdiri gagah’ seiring tugas dan peran besar yang diemban.
Demikian halnya Mahkamah Konstitusi (MK). Harus diakui, masa pandemi Covid-19 memang berat dirasakan semua pihak. Imbasnya merembes ke semua aspek kehidupan., termasuk pada bidang hukum dan peradilan.
Bagi MK, lanjut Arief, sejak awal berdiri MK telah mendeklarasikan diri sebagai peradilan modern dan tepercaya, situasi ini disikapi secara rasional. Penggunaan teknologi informasi modern, yang sejatinya telah diterapkan dan membersamai MK selama ini, semakin menemukan urgensi dan momentumnya di masa pandemi Covid-19 sekarang ini.
“Salah satu di antaranya ialah bagaimana kesiapan mengaplikasikan perangkat teknologi informasi modern dengan segenap sumber daya pendukung untuk menggelar persidangan virtual,” kata Arief kepada para narasumber dan peserta seminar.
Di awal masa pandemi Covid-19, MK memutuskan untuk melakukan penundaan persidangan terhadap seluruh perkara. Namun, layanan MK tetap berjalan dengan memanfaatkan jalur online atau elektronik berbasis web di laman resmi www.mkri.id. Kebijakan itu ditempuh MK dengan mengedepankan aspek kesehatan, kemanusiaan, dan keselamatan seluruh pihak.
Akibat menunda persidangan, kepastian hukum dan keadilan melalui putusan sebagaimana yang diharapkan para pencari keadilan menjadi terhambat. Padahal, seperti dikatakan William E Gladstone, negarawan dan mantan Perdana Menteri Inggris pada akhir 1800-an, ‘‘justice delayed is justice denied’. Keadilan yang ditunda merupakan keadilan yang ditolak.
Atas dasar itu, berdasarkan evaluasi dan analisis yang dilakukan terhadap sejumlah aspek, MK mengambil langkah untuk kembali menyelenggarakan persidangan tatap muka di ruang sidang dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat kepada Hakim Konstitusi, pegawai MK, maupun para pihak yang hadir. Selain itu, MK juga membatasi jumlah para pihak yang hadir secara langsung di ruang sidang. MK menetapkan setiap pihak yang hadir paling banyak 5 (lima) orang, boleh kuasa hukum maupun prinsipal. Selain itu, MK juga memberikan pilihan kepada para pihak yang akan mengikuti persidangan, apakah akan hadir langsung di ruang sidang atau hadir melalui virtual.
Namun demikian, seiring penerapan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara ketat di wilayah DKI Jakarta sekitar dua pekan lalu, MK mengambil kebijakan tegas untuk menyelenggarakan persidangan secara virtual. Maksudnya, Majelis Hakim Konstitusi berada di ruang sidang MK, sementara para pihak diperkenankan hadir hanya secara virtual.
“Pada titik ini, penerapan persidangan jarak jauh (virtual) dengan bantuan perangkat teknologi informasi terkini menjadi pilihan paling realistis,” tegas Arief.
Pelopor Persidangan Jarak Jauh
Bagi MK, persidangan jarak jauh dengan memanfaatkan perangkat teknologi informasi bukanlah sesuatu yang baru. Sebagai peradilan modern, MK menjadi pelopor persidangan jarak jauh. Sejak 2009, MK menyelenggarakan pemeriksaan persidangan jarak jauh dengan menggunakan teknologi video conferencing yang dilakukan secara online dan realtime. Persidangan jarak jauh tersebut didasarkan pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filling) dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference).
Persidangan jarak jauh demikian, memungkinkan terselenggara berkat kerja sama yang baik antara MK dengan perguruan tinggi hukum di seluruh Indonesia. Saat ini, perangkat video conference telah ditempatkan di sebanyak 43 perguruan tinggi yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Keberadaan perangkat video conference tersebut memungkinkan para pihak untuk tidak lagi harus hadir secara langsung di Ruang Sidang MK di Jakarta. Para pihak hanya menghubungi MK untuk memohon penyelenggaraan persidangan jarak jauh. Setelah dikoordinasikan, pada hari sidang yang dijadwalkan, Para Pemohon tinggal mendatangi perguruan tinggi terdekat dengan domisilinya untuk memanfaatkan fasilitas video conference MK.
Bahkan secara faktual, ungkap Arief, sebelum tahun 2009, MK telah mempraktikkan penggunaan teknolugi informasi melalu persidangan jarak jauh. Misalnya, pada sidang uji materi UU Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, MK mendengarkan keterangan ahli Philip Alston, Dosen Hukum di New York University, Amerika Serikat. Philip yang diajukan sebagai ahli oleh Pemohon menyampaikan keterangan melalui video conference pada 18 April 2007. Contoh lain, ketika MK mendengarkan keterangan ahli bernama Toby Daniel Mendel, ahli kebebasan berekspresi dari Canada. Toby diajukan sebagai ahli oleh Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis. Tovy menyampaikan keterangan ahli melalui fasilitas video conference pada persidangan MK, 23 Juli 2008. Saat itu, MK bersidang untuk perkara pengujian Pasal 310, 311, 316, dan 207 KUHP.
Dari fakta itu, MK setidaknya sudah punya pengalaman dan akrab dalam hal memanfaatkan teknologi informasi untuk persidangan jarak jauh. Oleh karena itu, menghadapi masa pandemi Covid-19 ini, MK merasa percaya diri untuk menerapkan persidangan virtual secara lebih meyakinkan.
Lebih lanjut Arief menjelaskan, hal lain yang penting diulas yakni perangkat teknologi persidangan virtual itu bukan hanya mampu diwujudkan dan dilakukan, tetapi juga harus dipastikan bahwa persidangan virtual tak diragukan keabsahan secara hukum didasarkan pada prosedur dan peraturan. Sejauh ini MK memastikan, secara ketentuan hukum acara, tidak ada persoalan hukum berkait dengan penyelenggaraan persidangan virtual.
Kebijakan yang berlaku pada saat ini, Majelis Hakim Konstitusi tetap harus hadir dan berada secara fisik di ruang sidang MK seperti halnya persidangan-persidangan sebelum masa pandemi. Bedanya, para pihak dapat berada di manapun, sepanjang di lokasi tersebut dapat mengakses jaringan internet. Walaupun para pihak berada di luar ruang sidang MK, tata cara dan tata tertib persidangan tetap berlaku. Misalnya, untuk pakaian, bagi advokat tetap harus mengenakan toga. Bagi pihak-pihak lain (yang bukan advokat), wajib berpakaian rapi sebagaimana halnya ketika hadir di ruang sidang MK.
Arief berkisah, pekan kemarin, dalam persidangan suatu perkara pengujian UU, Majelis Hakim Konstitusi ‘mengusir’ atau meminta seorang kuasa pemohon untuk keluar dari aplikasi ‘sidang virtual’. Penyebabnya, dari tampilan visual di layar, cara berpakaian yang bersangkutan dianggap tidak mencerminkan penghormatan terhadap persidangan MK. Akhirnya, yang bersangkutan langsung leave meeting. Majelis Hakim Konstitusi tidak menolerir terhadap hal-hal semacam ini.
Harus diakui, kebijakan persidangan virtual di MK mengimplikasikan sejumlah hal. Salah satunya, persidangan virtual berarti memperluas makna apa yang disebut sebagai “ruang sidang”. Dalam konteks persidangan virtual, ruang sidang bukan lagi bermakna ruangan dengan bentuk, interior, dan ukuran sebagaimana tempat MK selama ini bersidang. Persidangan virtual memungkinkan terbentuknya ‘ruang maya’ dengan ukuran, jarak, dan batas-batas arsitektur yang tak kasat mata. Betapapun merupakan “ruang maya”, tetapi meniscayakan semua pihak yang terlibat dan berada di dalam ruang maya itu berada di bawah kendali perintah dan izin Majelis Hakim. Siapapun pihak yang terlibat di dalamnya bertunduk pada tata cara dan tata tertib persidangan.
“Majelis Hakim Konstitusi punya otoritas penuh untuk menegur, bahkan mengusir seseorang untuk ke luar dari ruang virtual itu. Ini semua dilakukan demi kelancaran persidangan, sekaligus untuk menjaga marwah dan wibawa persidangan MK. Ini tentu tantangan tersendiri,” jelas Arief.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Foto: Gani