JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian) pada Kamis (24/9/2020). Agenda sidang mendengarkan keterangan ahli Pemohon. Permohonan perkara yang teregistrasi dengan Nomor 32/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912.
Margarito Kamis, pakar Hukum Tata Negara selaku ahli yang dihadirkan Pemohon menyatakan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian berisi ketentuan usaha perasuransian yang mana lini usaha tersebut hanya dapat dilakukan badan hukum yang berbentuk perusahaan perseroan (persero), koperasi dan usaha bersama. Sementara pada ayat (2), dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usaha konsultan aktuaria dan usaha agen asuransi dapat dilakukan oleh perusahaan perseroangan.
Menurut Margarito, ketentuan perasuransian berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut oleh undang-undang (UU). Namun, lanjut Margarito, UU ini telah dicabut dengan UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
Lebih lanjut Margarito mengatakan, sebelum UU Nomor 2 Tahun 1992 dicabut dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014, Mahkamah melalui Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013 menyatakan, “Ayat (3) Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 itu inkostitusional sejauh diatur dengan undang-undang.”
“Menyamakan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 hanya berdasarkan teks memang terlihat menyesatkan,” ujar Margarito kepada Majelis Sidang Panel yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Menurutnya, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tidak menyatakan spesifik asuransi usaha bersama (mutual) yang eksis itu sebagai badan hukum. Pasal ini mendukung asuransi mutual sebagai salah satu dari tiga jenis usaha asuransi. Itu saja. Perihal badan hukumnya, masih harus diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Ini yang membedakannya secara mendasar dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014.
“Selain itu, Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014, selain sebagai pasal bercorak khas kapitalis juga merendahkan kehendak ideologi MK yang dinyatakan dalam putusan juga mengacaukan sistem hukum. Hal itu karena pembentuk undang-undang diperintahkan oleh MK membentuk Undang-Undang Asuransi Usaha Bersama secara terpisah dari Undang-Undang Asuransi Umum. Bukan mengakui asuransi usaha bersama yang eksis menjadi badan hukum,” ” jelasnya.
Margarito menegaskan, pengingkaran pembentuk undang-undang atas putusan MK melalui Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 sama dengan menghantam secara langsung nilai kebangsaan yakni gotong-royong yang merupakan khas tradisi bangsa Indonesia. “Saya tidak dapat membayangkan MK dapat memiliki keberanian untuk memberi nuansa baru terhadap gotong-royong yang ada pada pertimbangan putusan Mahkamah terdahulu yang dengan gotong-royong khas kapitalis,” tegasnya. Sehingga, ia meminta kepada Mahkamah dapat memberi kepastian agar tidak dipermainkan oleh kapitalis.
Menanggapi pernyataan Margarito tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo mempertanyakan uraian ahli berkaitan dengan prinsip-prinsip gotong royong yang dikaitkan dengan modus-modus kapitalis yang tidak secara tegas ada dipertimbangan pada putusan. “Modus-modus kapitalis secara tegas ada di pertimbangan pada putusan sebelumnya ataukah sesungguhnya narasi-narasi Ahli sebaiknya dipertimbangkan kepada putusan yang akan datang atau seperti apa? Kalau soal gotong royong, kemudian dari asas atau bagian dari prinsip-prinsip terhadap Pasal 33 Konstitusi kita, kan sudah diuraikan panjang-lebar di pertimbangan Putusan 32/PUU-XI/2013. Dan itu sudah selesai, Pak Margarito. Nah, yang ingin penegasan dari Bapak, itu seharusnya di pertimbangan sebagai, Bapak sebut juga ratio decidendi ke depan atau seperti apa? Karena pertimbangan-pertimbangan demikian itu telah tersurat dan tersirat pada putusan sebelumnya,” kata Suhartoyo.
Kemudian, lanjut Suhartoyo, pertanyaan selanjutnya berkaitan dengan relevansi PP. “Sejauh mana relevansi kerugian konstitusional Pemohon itu kalau prinsip-prinsip, terutama prinsip-prinsip kegotong-royongan, kemudian menjauhkan kecurigaan-kecurigaan praktik monopoli, kapitalis itu, kemudian sudah dijauhkan melalui PP itu?” imbuh Suhartoyo.
Menjawab pertanyaan Hakim Konstitusi Suhartoyo, Margarito mengatakan Pasal 6 ayat (3) harus dipertalikan dengan ayat (2) pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 itu memerintahkan pembentukan undang-undang usaha bersama, memerintahkan pembentukan PP untuk asuransi
usaha bersama. Menurutnya, pasal tersebut berbeda dengan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992. Ia menduga pasal tersebut lahir karena pada ayat (2) oleh pembentuk undang-undang sudah diberi pengakuan badan hukum terhadap usaha asuransi bersama yang eksis.
“Norma ini tidak ada pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992. Terlihat logis karena asuransi usaha bersama yang selalu eksis diakui badan hukum, sesuatu yang tidak ada pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 karena itu diatur saja dengan PP,” jelasnya.
Selain itu, menurutnya, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 ini adalah pemenuhan atas perintah Mahkamah. Sialnya, ditafsir dengan bukan membuat undang-undang khusus tentang usaha bersama, melainkan undang-undang persis seperti undang-undang yang diuji dulu. “Menurut saya, tidak begitu seharusnya. Kalau mereka mau bikin undang-undang baru, bikin saja undang-undang itu isinya apa terserah mereka, tetapi harus dibikin pula satu undang-undang yang spesifik sebagaimana diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi setelah memberi tafsir atas Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tersebut,” jelas Margarito.
Baca Juga…
BPA AJB Bumiputera Uji Pengaturan Perusahaan
BPA AJB Bumiputera Pertegas Kedudukan Hukum
Pemerintah: Pengaturan Usaha Persuransian adalah Pilihan Open Legal Policy
Untuk diketahui, permohonan uji materi UU Perasuransian ini diajukan oleh Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 yang terdiri dari Nurhasanah, Ibnu Hajar, Maryono, Achmad Jazidie, Habel Melkias Suwae, Gede Sri Darma, Septina Primawati, dan Khoerul Huda. Para Pemohon menguji Pasal 6 ayat (3) UU Perasuransian yang menyatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah”.
Menurut Pemohon, keberadaan pasal tersebut telah menimbulkan kerugian konstitusional karena tidak sesuai dengan substansi Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013. Dalam putusan MK tertanggal 03 April 2014 tersebut MK memerintahkan bahwa ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual Insurance) harus diatur lebih lanjut dengan UU tersendiri dan dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan diucapkan. Namun, menurut Pemohon, Pemerintah dan DPR telah melakukan kemunduran dengan mengubah UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menjadi UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, terutama Pasal tersebut.
Selain itu, Pemohon menilai, ketentuan tersebut bertentangan dengan putusan MK yang mewajibkan dan memerintahkan Pemerintah dan DPR untuk membentuk UU tersendiri tentang Asuransi Usaha Bersama. Menurutnya, keberadaan PP ini juga bertentangan dan bertolak belakang dengan Anggaran Dasar AJB yang telah ada dan memberikan jaminan eksistensi dan kewenangan bagi para Pemohon.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Annisa Lestari