JAKARTA, HUMAS MKRI – Dewan Pengawas KPK diangkat oleh Presiden yang dalam kedudukannya tidak bersifat hierarkis, namun didudukkan setara dengan Pimpinan KPK. Kedudukan yang tidak bersifat hierarkis tersebut menjadikan Dewan Pengawas KPK menjadi lebih independen. Akan tetapi, dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) tidak terdapat ketentuan yang mengatur tentang kewenangan Dewan Pengawas beserta status kedudukannya selain dari tugasnya. Hal tersebut diungkapkan Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dalam sidang lanjutan UU KPK untuk Perkara 59, 77, 79, 70, 62, 71, 73/PUU-XVII/2019 pada Rabu (23/9/2020) siang secara virtual.
“Oleh karena itu Dewan Pengawas berpendapat, seharusnya UU No. 19 Tahun 2019 mencantumkan kewenangan dan status Dewan Pengawas agar rekomendasi yang dihasilkan dalam Rapat Koordinasi Pengawasan Tugas dan Wewenang KPK serta Rapat Evaluasi Pimpinan KPK mempunyai kekuatan yang mengikat untuk diindahkan dan dilaksanakan,” kata Tumpak yang didampingi anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho.
Baca juga: Penyidik KPK Nilai Izin Dewan Pengawas Hambat Proses Penegakan Hukum
Selain itu, ungkap Tumpak, Dewan Pengawas KPK menanggapi pengujian materiil terkait pembentukan Dewan Pengawas KPK. Tugas Dewan Pengawas sebagai salah satu unsur di KPK diatur dalam Pasal 37B UU No. 19/2019. Secara garis besar, tugas Dewan Pengawas dalam aspek pengawasan serupa dengan tugas dan fungsi yang semula.
“Namun terdapat perbedaan mencolok dalam pelaksanaan tugasnya. Khususnya dengan tugas memberikan izin atau tidak memberikan izin melakukan penyadapan, penggeledahan dan atau penyitaan, penyusunan dan penetapan kode etik, pemeriksaan dan penyelenggaraan sidang atas dugaan pelanggaran kode etik serta evaluasi kinerja Pimpinan dan pegawai KPK.
Baca juga: Pegawai Tegaskan Posisi KPK dalam Perubahan UU KPK
Tumpak juga menanggapi perihal pembentukan Dewan Pengawas KPK beserta kewenangannya dalam UU KPK akan menciderai hak konstitusional para Pemohon dan menggerus independensi KPK. Menurut Dewan Pengawas KPK, dalil tersebut tidak disertai uraian yang jelas, bentuk kewenangan apa yang membuat independensi kelembagaan KPK tergerus dengan adanya Dewan Pengawas KPK.
Padahal Pasal 21 ayat (1) UU KPK menyebutkan Dewan Pengawas KPK merupakan satu kesatuan dalam kelembagaan KPK yang dibentuk dalam rangka menjamin asas-asas yang dicantumkan dalam Pasal 5 UU KPK, yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, melalui pengawasan dalam pelaksaaan tugas dan wewenang KPK, evaluasi terhadap kinerja Pimpinan KPK serta pemeriksaan dan penjatuhan saksi atas pelanggaran kode etik yang dilakukan Pimpinan dan pegawai KPK.
“Para Pemohon juga tidak dapat menguraikan hubungan hukum antara pembentukan Dewan Pengawas dan kewenangan yang mana yang berpotensi terlanggarnya hak para Pemohon atas jaminan kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum,” tegas Tumpak.
Sebagaimana diketahui, Perkara No. 59/PUU-XVII/2019 dimohonkan oleh 25 orang advokat yang mendalilkan perubahan UU KPK tidak sesuai dengan upaya pembersihan korupsi dalam penyelenggaraan bernegara. Menurut para Pemohon, proses pengesahan perubahan Undang-Undang KPK tidak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena dalam rapat paripurna tersebut jumlah anggota DPR yang hadir berjumlah 80 orang atau setidak-tidaknya kurang dari setengah dari jumlah anggota DPR secara keseluruhan. Perubahan UU KPK dilakukan secara tersembunyi dan dibahas dalam rapat-rapat di DPR dalam kurun waktu yang relatif singkat.
Para Pemohon Perkara 77/PUU-XVII/2019, Jovi Andrea Bachtiar dkk. melakukan pengujian Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 12C ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 37A ayat (3) UU KPK. Para Pemohon mendalilkan, keberadaan pengaturan terkait kedudukan dan mekanisme pengisian jabatan Dewan Pengawas dalam Perubahan Kedua UU KPK berpotensi melanggar prinsip-prinsip negara hukum (rechtstaats) dan prinsip independensi (independent judiciary) pada proses peradilan.
Pemohon Perkara 79/PUU-XVII/2019 antara lain adalah Agus Rahardjo, Laode Muhamad Syarif sebagai petinggi KPK, berpandangan bahwa pembentuk undang-undang sama sekali tidak menunjukkan itikad baik dalam proses pembentukan Perubahan Kedua UU KPK, sehingga terdapat potensi kerugian konstitusional yang dapat merugikan warga negara. Menurut para Pemohon, proses pembahasan RUU KPK berlangsung kilat dan terkesan terburu-buru untuk disetujui. Hal itu menurut para Pemohon, menjadi faktor banyaknya cacat formil dan ketidakjelasan yang terdapat dalam batang tubuh undang- undang a quo.
Selanjutnya Fathul Wahid dkk. Selaku para Pemohon Perkara 70/ PUU-XVII/2019 melakukan pengujian sejumlah pasal dalam UU KPK, antara lain Pasal 1 angka dan Pasal 3. Para Pemohon mendalilkan adanya cacat proses pembentukan UU KPK dikaitkan dengan UU No. 12/2011 sebelum perubahan. Sedangkan Selanjutnya Pemohon Perkara 62/PUU-XVII/2019, Gregorius Yonathan Deowikaputra menguji Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK. Menurut Pemohon, pembentukan UU Perubahan Kedua UU KPK dilakukan dengan tertutup tanpa melibatkan masyarakat luas. Masyarakat sulit mengakses risalah rapat di website resmi DPR, demikian juga Pemohon mengalami hal yang sama.
Berikutnya, Perkara 71/PUU-XVII/2019 dimohonkan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dkk. menguji antara lain Pasal 6 huruf e dan Pasal 12 ayat (1) UU KPK. Menurut para Pemohon, eksistensi Dewan Pengawas KPK merupakan suatu paradoks yang justru melemahkan pemberantasan korupsi. Kemudian Ricki Martin Sidauruk dan Gregorianus Agung selaku para Pemohon Perkara 73/PUU-XVII/2019 menguji Pasal 43 ayat (1) UU KPK. Persyaratan menjadi Penyelidik KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 43A ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d UU KPK memberikan standardisasi proporsional yang dapat diperuntukkan bagi khalayak umum tanpa membatasi dengan profesi-profesi tertentu, yang menurut para Pemohon sangat berbentuk diskriminatif. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Raisa Ayuditha