JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA), serta Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK), pada Selasa (22/9/2020). Permohonan perkara yang teregistrasi Nomor 71/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh R.M. Punto Wibisono.
Adapun materi yang diujikan Pemohon yaitu Pasal 50 ayat (1), Pasal 66 ayat (1), Pasal 70 ayat (2) UU MA serta Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU KK. Menurut Pemohon, ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon pada intinya mempersoalkan dua hal. Pertama, ikhwal permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang hanya dapat diajukan satu kali. Kedua, ikhwal persidangan di MA yang dilakukan tertutup.
Pada sidang kedua ini, Pemohon melalui kuasa hukum Bahrul Ilmu Yakup menyampaikan beberapa perbaikan permohonan. Antara lain, menambah norma Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagai objek pengujian perkara. Pada norma tersebut, sambung Bahrul, tidak menjelaskan cara pengadilan tinggi memutus perkara pada tingkat banding sehingga Pemohon tidak dapat menjelaskan kekeliruan yang terjadi dalam sidang pertama. Pemohon juga menambahkan Pasal 28H UUD 1945 sebagai norma batu uji. Selain itu, penyempurnakan argumentasi kedudukan hukum (legal standing) Pemohon.
Lebih jelas Bahrul menguraikan bahwa Pemohon merasakan adanya perlakuan diskriminatif mana kala suatu kondisi yang sama dilakukan secara berbeda dan bukan karena adanya tujuan filosofis penyeimbangan pada perkara yang dialaminya. “Pemohon sebagai warga negara merasakan hak atas kepastian hukum yang adil agar harta bendanya tidak dirampas oleh adanya peradilan yang asal-asalan. Pemohon merasa kehilangan hak milik atas tanah karena proses peradilan yang salah berdasarkan bukti. Pemohon merasa tidak bisa mengoreksi putusan pengadilan yang keliru dan Pemohon merasakan proses peradilan yang keliru itu tercipta karena diselenggarakan dalam proses pemeriksaan yang dilakukan secara tertutup,” ungkap Bahrul melalui video conference dari Palembang.
Baca Juga:
Menguji Ketentuan PK Hanya Sekali dan Keterbukaan Sidang MA
Pada sidang terdahulu, Pemohon menyatakan telah kehilangan hak milik atas tanah karena Pemohon telah dikalahkan oleh putusan pengadilan dalam Perkara Perdata Nomor 257/PDT.G/2008/PN.TNG juncto Putusan Pengadilan Tinggi (PT) Banten Nomor 80/PDT/2009/PT.BTN juncto Putusan Kasasi Mahkamah Agung (MA) Nomor 808K/PDT/2010 juncto Putusan PK MA Nomor 591 PK/PDT/2012. Rangkaian Putusan Pengadilan dalam perkara perdata tersebut ternyata keliru setelah muncul Putusan Nomor 998/Pid.B/2014/PN.TNG tanggal 8 September 2014.
Setelah mengetahui adanya bukti baru (novum) berupa putusan ini, Pemohon hendak mengajukan permohonan PK terhadap putusan-putusan sebelumnya. Namun hal ini tidak dapat Pemohon wujudkan karena ada norma Pasal 24 ayat (2) UU KK dan Pasal 66 ayat (1) UU MA yang membatasi Permohonan PK hanya satu kali. Akibatnya, Pemohon tidak dapat mengoreksi rangkaian putusan yang keliru tersebut.
Selain itu,Pemohon juga mendalilkan kerugian konstitusional yang dialami berkaitan dengan penyelenggaraan persidangan secara tertutup di MA dalam mengadili pada tingkat Kasasi Putusan Nomor 808K./PDT/2010 dan mengadili pada PK pada Putusan PK Nomor 591PK/PDT/2012. Padahal dalam putusannya disebut persidangan terbuka untuk umum. Secara substansial, sidang dilakukan tertutup karena sama sekali tidak dihadiri oleh pihak yang berperkara sebagai pencari keadilan maupun orang lain yang berkepentingan. Sehingga Pemohon tidak mengetahui proses yang dilalui dan Pemohon akhirnya tidak mendapat jaminan kepastian hukum yang adil dan tidak memperoleh perlindungan atas hartanya berupa tanah dari pengadilan.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina
Foto: Ifa