JAKARTA, HUMAS MKRI - Menurut Pasal 24 ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sejak tanggal keputusan pailit diucapkan, debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit. Demikian disampaikan oleh Sutan Remy Sjahdeini selaku ahli yang dihadirkan oleh Pemohon dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Sidang perkara yang diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 41/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh investor asing, yaitu Taufik Surya Dharma. Adapun materi yang diuji, Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (1945).
Lebih lanjut Sutan menyebutkan Penjelasan Umum UU Kepailitan yang menyatakan, “Putusan pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan.” Setelah debitur dinyatakan pailit, maka selanjutnya yang akan mengurus harta pailit adalah kurator. Demikian ditentukan oleh Pasal 15 ayat (1) juncto Pasal 69 ayat (1) UU Kepailitan.
Sutan juga menjelaskan tentang curator berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU Kepailitan, yang menyatakan, “Kurator itu adalah balai harta peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan undang-undang ini.” Menurutnya, suatu perseroan terbatas yang telah dinyatakan pailit diwajibkan membayar utang pajak yang masih terutang sebelum dinyatakan pailit.
“Yang masih terutang sebelum dinyatakan pailit, belum lunas, itu masih harus dibayar. Namun, karena menurut Pasal 184 Undang-Undang Kepailitan setelah perseroan tersebut dinyatakan pailit, maka pengurusan terhadap perusahaan debitur dihentikan. Jadi, tidak ngurusin PT nya lagi,” kata Sutan.
Menurutnya, apabila pengurusan perseroan terbatas yang telah dinyatakan pailit tersebut dihentikan, maka dengan sendirinya perseroan terbatas tersebut tidak lagi dapat melakukan kegiatan usaha untuk dapat menghasilkan pendapatan dan melakukan pengeluaran. Sehingga tidak dapat lagi menghasilkan keuntungan untuk menjadi sumber kewajiban pajak dari perseroan tersebut.
“Perseroan tersebut sebagai badan hukum tidak lagi dapat dibebani pajak, kecuali tetap harus tetap membayar pajak yang masih terutang sebelum dinyatakan pailit,” jelasnya.
Berkenaan dengan tanggung jawab pribadi/pengurus perseroan yang dinyatakan pailit, lanjut Sutan, menurut Pasal 14 ayat (2) UU Perseroan Terbatas, utang perseroan terbatas menjadi utang pribadi pengurus hanya apabila kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan.
“Jadi, kalau sudah dijualin itu masih ada sisa dan memang kepailitan tersebut karena kesalahan dari anggota direksi, maka anggota direksi secara pribadi harus menanggung utang,” tegas Sutan.
UU Kepailitan tidak mengatur dengan eksplisit mengenai pengurusan kegiatan usaha perseroan yang telah dinyatakan pailit. Artinya, UU Kepailitan tidak memberikan ketentuan yang eksplisit mengenai apakah setelah kurator melakukan pembebasan terhadap boedel pailit, maka pengurus demi hukum memiliki kembali wewenang atau hak untuk mengurus perseroan terbatas. Hal tersebut tidak ada ketentuan yang tegas di dalam UU Kepailitan.
Dalam UU Kepailitan hanya ditentukan bahwa sisa piutang para kreditur yang belum lunas. Hal tersebut dapat diketahui dari Pasal 204 UU Kepailitan yang menentukan yang demikian. Setelah data pembagian penutup menjadi mengikat, maka kreditur memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta debitur mengenai utang mereka yang belum dibayar.
Untuk menghindari masih terus ditagihnya sisa utang oleh para kreditur karena perseroannya sudah selesai tindakan pemberesan boedel pailit yang dilakukan oleh kurator, maka seringkali para pemegang saham dari perseroan tersebut membubarkan perseroan melalui putusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa. Hal ini dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 142 ayat (1) huruf a UU Perseroan Terbatas.
“Jadi, daripada dikejar-kejar terus, ya, sudah selesai, perseroan sudah tidak punya harta karena sudah habis dilikuidasi, maka pemegang saham itu biasanya lalu membubarkan perseroan untuk mulai membuat perseroan baru supaya ada fresh start,” ungkap Sutan.
Hal yang sama dikatakan Tjip Ismail yang merupakan ahli Pemohon kedua. Ia mengatakan, berdasarkan UU KUP yang bertanggung jawab atas kewajiban perpajakan, termasuk pembayaran atas utang pajak suatu perusahaan tidak hanya wajib pajak, tetapi juga penanggung pajak. Tetapi terhadap suatu perusahaan dalam proses permohonan pailit maupun telah diputus oleh Pengadilan Niaga dinyatakan pailit, prosesnya harus diajukan melalui pengadilan karena segala pemberesan utang-utangnya begitu diajukan ke pengadilan telah beralih ditunjuk pemberesannya, yaitu sebagai kurator sementara.
“Dengan demikian terhadap suatu peran perusahaan yang dinyatakan pailit, walaupun telah dinyatakan bahwa kewajiban ada pada Undang-Undang Pajak, tapi kalau sudah dinyatakan proses dan dinyatakan dalam proses pailit maupun sudah diproses sudah beralih kewajibannya kepada kurator,” kata Tjip Ismail.
Menurut Ismail, UU KUP, UU formal Perpajakan yang mengatur hak dan kewajiban wajib pajak yang dinyatakan pailit dalam UU KUP yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (6) terhadap NPWP yang mengajukan nomor pokok identitas wajib pajak yang dinyatakan pailit. Seharusnya NPWP-nya itu dalam keadaan non-efektif.
“Jadi, tidak boleh dilakukan ada ketetapan baru sedang proses dan dinyatakan pailit, menunggu sampai bagaimana putusan dari hakim, dari majelis pengadilan. Ini demi keadilan dan kepastian hukum, kita harus hormati putusan dari peradilan,” terangnya.
Kemudian, lanjutnya, terhadap Pasal 32 ayat (2) mengenai tanggung jawab renteng, perusahaan dinyatakan pailit karena setelah dinyatakan pailit, apalagi telah dinyatakan inkracht, pemberesannya sudah beralih pada kurator. Dengan demikian, maka kurator atau pengurus yang sudah dinyatakan dalam putusannya sangat terinci. Siapa yang bertanggung jawab dan berapa besarnya utang pajak itu dirinci dalam putusan pengadilan.
Baca Juga…
Terbebani Tagihan Pajak Perseroan Pailit, UU KUP Diuji
Pemohon Uji UU KUP Pertajam Identitas
DPR: Mantan Pengurus Harus Tanggung Jawab atas Utang Pajak Perseroan
MK Tunda Sidang Keterangan Ahli dan Saksi Pemohon Uji UU KUP
Untuk diketahui, permohonan pengujian materiil UU KUP ini diajukan oleh investor asing, yaitu Taufik Surya Dharma. Pemohon menguji Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP. Pemohon merupakan mantan Pengurus PT. United Coal Indonesia (PT UCI) yang sudah dinyatakan pailit melalui putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Tahun 2015 silam.
Pemohon keberatan dengan berlakunya Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP. Sebab, kedua pasal tersebut telah dijadikan dasar oleh KPP Wajib Pajak Besar Satu untuk melakukan penagihan pajak PT. UCI yang dibebankan kepada Pemohon secara pribadi dengan jumlah yang sangat fantastis yakni sebesar Rp. 193.625.721.483,00 hanya karena NPWP Badan atas nama PT. UCI (dalam pailit) belum dihapus. Padahal, perusahaan tersebut sudah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan seluruh boedel harta pailit dilakukan pemberesan oleh Kurator.
Penulis: Utami A.
Editor: Nur R.
Humas: Annisa Lestari