JAKARTA, HUMAS MKRI – JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (21/9/2020) siang. Sidang Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 67/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Mohammad Kilat Wartabone dan Imran Ahmad. Materi yang diujikan para Pemohon yaitu Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada khususnya frasa “belum pernah menjabat sebagai Gubernur/Bupati/Walikota…”
Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan DPR dan KPU. Anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman menjelaskan Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada yang diuji oleh para Pemohon, berada dalam Bab III mengenai persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada Perubahan Kedua merupakan penyempurnaan dari norma aslinya yaitu Pasal 7 huruf n UU No. 1/2015 yang berketentuan belum pernah menjabat sebagai gubernur, bupati dan walikota selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
“Perbedaan pokok antara Pasal 7 huruf n UU No. 1/2015 dengan Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada Perubahan Kedua yakni penambahan frasa wakil gubernur, wakil bupati dan wakil walikota. Karena menurut konsep asli UU No. 1/2015 untuk jabatan wakil kepala daerah tidak dipilih secara langsung. Hanya kepala daerah yang dipilih secara langsung. Oleh karena itu sebagai bentuk komitmen kembali ke pemilihan langsung yang seutuhnya, maka pengaturan untuk wakil kepala daerah ikut disempurnakan termasuk dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada Perubahan Kedua,” papar Habiburokhman kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Dikatakan Habiburokhman, dalam UU Pilkada Perubahan Kedua, terdapat tiga norma yang memiliki pengaturan serupa yaitu Pasal 7 ayat (2) huruf o yang menyebutkan belum pernah menjabat sebagai gubernur untuk calon wakil gubernur atau bupati/walikota untuk calon wakil bupati/wakil walikota pada daerah yang sama. Selain itu Pasal 7 ayat (2) huruf p yang berketentuan berhenti dari jabatannya bagi gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon. Kemudian Pasal 7 ayat (2) huruf q menyebutkan tidak berstatus sebagai penjabat gubernur, penjabat bupati dan penjabat walikota.
“Adanya tiga norma tersebut memiliki maksud membatasi lamanya seseorang menduduki jabatan di bidang pemerintahan. Karena setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk menjadi sewenang-wenang,” tegas Habiburokhman.
Lebih lanjut Habiburokhman menyinggung norma Pasal 66 ayat (3) dan ayat (4) UU Pemda Perubahan Kedua yang menyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah berada dalam satu kesatuan dalam pelaksanaan fungsi jabatan sebagai pemerintah daerah. Dengan demikian munculnya pengaturan baru dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada Perubahan Kedua, merupakan wujud kesesuaian peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini juga sesuai dengan paket kepala daerah dan wakil kepala daerah sejak awal pencalonan.
Berikutnya, DPR menanggapi petitum para Pemohon yang meminta agar dua kali masa jabatan itu diartikan juga untuk penjabat, berdasarkan kondisi empiris yang terjadi di Kabupaten Bone Bolango.
“Penjabat dalam perkara ini menurut persepsi Para Pemohon adalah wakil kepala daerah. Dikarenakan kepala daerah di Kabupaten Bone Bolango berhalangan, maka wakil kepala daerah menjalankan fungsinya sebagai penjabat untuk menggantikannya. Terdapat sejumlah istilah terkait pejabat sementara, kepala daerah yang akan melaksanakan tugas-tugas rutin pejabat definitif kepala daerah untuk sementara waktu. Dalam sistem tata negara Indonesia telah diatur mekanisme penunjukan kepala pejabat publik pengganti sementara yang akan melaksanakan tugas dan kewajiban apabila pejabat definitif atau kepala instansi pemerintahan berhalangan melaksanakan tugas-tugasnya,” papar Habiburokhman.
DPR menegaskan, persoalan hukum yang harus dibenahi jika menggunakan studi kasus di Kabupaten Bone Bolango seperti dialami para Pemohon adalah ketika sudah terlalu lama seorang pejabat definitif digantikan pejabat yang berstatus Plt, maka sesegera mungkin diambil langkah untuk mendefinitifkan kepala daerah tersebut dan kemudian mengisi wakil kepala daerah sesuai dengan pengaturan dalam UU No. 23 Tahun 2014.
“Sebetulnya kalau posisi kepala daerah definitif cukup lama berhalangan, maka seharusnya kepala daerah tersebut dapat diberhentikan,” ucap Habiburokhman.
Sementara Anggota KPU Hasyim Asy’ari menerangkan mengenai gambaran umum penyelenggaraan pemilihan. “Salah satu wujud implementasi demokrasi lokal, memilih pemimpin daerah, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota melalui pemilihan. Sama halnya seperti pemilu, pemilihan merupakan sarana kedaulatan rakyat sekaligus sebagai wujud usaha untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945,” ungkap Hasyim.
Pemilihan sebagai sarana kedaulatan rakyat bertujuan untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota secara demokratis. Pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota melalui pemilihan dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
“KPU sebagai salah satu penyelenggara pemilihan memiliki amanah untuk menggelar pesta demokrasi lokal tersebut. KPU adalah penyelenggara pemilihan bersifat nasional dan mandiri dalam melaksanakan pemilihan. Artinya, KPU tidak dapat dan tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun dalam menyelenggarakan pemilihan,” jelas Hasyim.
Sebagai konsekuensinya, sambung Hasyim, KPU dalam menyelenggarakan pemilihan harus transparan dan akuntabel. Transparan artinya membuka seluas-luasnya akses informasi kepada masyarakat terkait penyelenggaraan pemilihan dan aktif menginformasikan segala sesuatu terkait penyelenggaraan pemilihan. Akuntabel artinya apa yang dilakukan KPU dalam penyelenggaraan pemilihan harus dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya Hasyim menanggapi ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada yang diuji para Pemohon. Menurut KPU, ketentuan tersebut berkaitan dengan ketentuan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada ayat (1) yang menyatakan, “Gubernur, wakil gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1) memegang jabatan selama lima tahun, terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.” Sedangkan Pasal 161 ayat (2), “Bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (3) memegang jabatan selama 5 tahun, terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Baca Juga:
Manakala Satu Periode Masa Jabatan Kepala Daerah Dipermasalahkan
Calon Kepala Daerah Perbaiki Permohonan UU Pilkada
Sebagaimana diketahui, permohonan uji materi UU Pilkada ini diajukan oleh Mohammad Kilat Wartabone dan Imran Ahmad. Mohammad Kilat adalah bakal calon kepala daerah yang mendapatkan dukungan melalui jalur perseorangan untuk maju dalam Pilkada Serentak Tahun 2020 di Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Sedangkan Imran Ahmad adalah penduduk Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo yang mempunyai hak untuk dipilih (right to be candidate) sekaligus hak untuk memilih (right to vote) dalam Pilkada Serentak Tahun 2020.
Para Pemohon dirugikan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 khususnya frasa “belum pernah menjabat sebagai Gubernur/Bupati/Walikota …” yang pemaknaannya berlaku untuk subjek hukum Gubernur/Bupati/Walikota saja. Makna dari norma tersebut dibatasi hanya untuk menghitung masa jabatan subjek hukum yang pernah menjabat sebagai kepala daerah saja, tetapi tidak berlaku untuk subjek hukum wakil kepala daerah yang menjadi pejabat kepala daerah dengan tugas dan wewenangnya sebagai kepala daerah.
Padahal dalam satu periode masa jabatan, menurut para Pemohon, terdapat subjek hukum yang menjabat sebagai kepala daerah yakni (1) Gubernur/Bupati/Walikota itu sendiri, dan/atau (2) Wakil Gubernur/Bupati/Walikota yang menjadi pejabat kepala daerah.
Secara aktual, para Pemohon mengalami kerugian atas praktik ketatanegaraan kepala daerah di Kabupaten Bone Bolango. Bupati Bone Bolango terpilih Periode 2010-2015, Abdul Haris Nadjmudin, diberhentikan sementara karena tersangkut perkara pidana sehingga Wakil Bupati, Hamim Pou diberi wewenang menjalankan pemerintahan sebagai pejabat bupati sejak 18 September 2010-27 Mei 2013. Dalam rentang waktu 2 tahun 3 bulan, Bupati Abdul Haris Nadjmudin meninggal dunia sehingga Hamim Pou menjadi bupati pengganti sejak 27 Mei 2013-17 September 2015.
Kemudian pada Periode 2016-2021, Hamim Pou terpilih menjadi Bupati satu periode untuk masa jabatan 17 Februari 2016-17 Februari 2021 dan di Pilkada Serentak 2020, Hamim Pou yang merupakan ketua salah satu partai dicalonkan kembali menjadi Bupati Bone Bolango Periode 2021-2026.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Lambang TS.
Foto: Gani.