JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) tidak diberi kewenangan menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Namun sejak 2009 ada permohonan pengujian Perpu ke MK. Mahkamah dalam pertimbangan hukum menjelaskan Perpu dapat menimbulkan ketentuan yang mengikatnya sama dengan undang-undang. Oleh karena itu, norma yang terdapat dalam Perpu tersebut dapat dilakukan uji materiil.
Hal tersebut disampaikan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh saat menjadi narasumber pada kegiatan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya (Unika Atma Jaya) dan Dewan Peradi, pada Sabtu (19/9/2020) secara dalam jaringan (daring/online).
Lebih lanjut Daniel mengatakan, ketentuan pengujian Perpu tersebut dengan catatan bahwa Perpu belum disahkan oleh DPR menjadi undang-undang. Namun, apabila dalam proses pengujiannya di MK Perpu telah diundangkan oleh DPR, maka pengujian perkaranya telah kehilangan objek. Dengan demikian, permohonan akan dikembalikan pada keputusan Pemohon yang mengajukan perkara pengujian.
“Sejak 2009–2019 telah terdapat 24 pengujian Perpu di MK. Ini adalah bentuk dari perkembangan kewenangan yang dimiliki MK. Adapun wujud keputusannya sebagian besar tidak dapat diterima, ditarik kembali, dan ada yang gugur,” ucap Daniel dalam kegiatan bertema “Hukum Acara MK”.
Selain pengujian Perpu, MK dalam perkembangan kewenangannya pun bertugas mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHP Kada). Kewenangan ini dilakukan MK hingga terbentuknya peradilan khusus. Dalam hal ini, diakui oleh Daniel bahwa penyelesaian perkara Pilkada sangatlah dinamis sehingga sejatinya memang perlu lembaga yang fokus menyelesaikan perkara terkait dengan ranah kekuasaan daerah ini.
“Memutus perselisihan hasil pemilu yang dilakukan MK berdasarkan pada Pasal 22E UUD 1945. Bahwa yang dimaksudkan pemilu adalah pemilu Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD, dan DPRD. Itu yang dimaksudkan pasal itu. Sedangkan Pilkada itu merupakan bagian dari pemerintah daerah yang diatur dalam aturan lainnya. Tetapi dalam praktiknya, MK masih diberikan kewenangan tambahan ini,” terang Daniel.
Hukum Acara
Berikutnya Daniel menerangkan ketentuan hukum acara di MK, mulai dari bagaimana syarat sebuah permohonan hingga pada pengucapan putusan yang dilakukan oleh sembilan hakim konstitusi. Dalam pengajuan permohonan, sambung Daniel, setiap permohonan haruslah dibuat dengan menggunakan bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh Pemohon/Kuasanya dalam 12 rangkap. Hal ini untuk mempermudah pembacaan dan pemahaman permohonan bagi seluruh hakim konstitusi dan pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara, seperti DPR, Pemerintah, dan Pihak Terkait.
Langkah berikutnya, sambung Daniel, MK menyelenggarakan sidang pemeriksaan pendahuluan. Dalam sidang ini, panel hakim akan memberikan nasihat-nasihat untuk penyempurnaan permohonan Pemohon. Waktu yang diberikan oleh panel hakim untuk penyempurnaan permohonan selambat-lambatnya 14 hari. Berikutnya adalah pengesahan alat bukti.
Berdasarkan hasil sidang pemeriksaan pendahuluan, berikutnya panel hakim akan membawa agenda perkara ke meja Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang dihadiri sekurang-kurangnya 7 hakim konstitusi. Dalam RPH inilah nanti akan ditentukan sikap apakah sebuah perkara akan dilanjutkan untuk diagendakan sidang lanjutan hingga ke pleno atau hanya cukup sampai pada sidang pendahuluan yang digelar hakim panel. Apabila RPH memutuskan lanjut, maka akan dipersiapkan segala sesuatu tahapan lanjutan mulai dari mengundang DPR, Pemerintah, dan atau Pihak Terkait dengan pengajuan perkara yang dimohonkan Pemohon.
Dalam pemaparan ini Daniel tak hanya menjelaskan maeteri secara satu arah, tetapi juga membuka ruang diskusi dengan para mahasiswa calon advokat untuk melakukan sanggahan dan mengajukan pertanyaan atas materi yang diulas pada kegiatan ini. Pertanyaan yang diajukan oleh Nicky Akhita Pianaung misalnya, menanyakan bagaimana ketentuan dari pembubaran partai politik yang juga masuk dalam salah satu kewenangan MK yang diberikan oleh UU. Menjawab hal ini, Daniel menjelaskan bahwa ada ketentuan tertentu sebuah partai politik bisa dibubarkan. Diakui oleh Daniel, selama MK berdiri belum ada partai politik yang dibubarkan karena sejauh ini belum ada pula partai politik yang prinsip partainya yang bertentangan dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945. Hingga saat ini, jelas Daniel, hanya ada partai politik yang menggabungkan diri dengan partai politik lainnya untuk memenuhi syarat memasuki parlemen.
Pertanyaan menarik berikutnya datang dari Andre Pratama, yang menanyakan sifat dari Putusan MK serta bagaimana keterlibatan hakim konstitusi dalam membuat sebuah Putusan. Daniel pun menanggapi bahwa Putusan MK diputuskan dalam sebuah RPH. Di dalamnya tidak semua hakim akan selalu sependapat. Ada hakim yang berbeda pendapat dan hal tersebut lumrah terjadi dalam sebuah pandangan dan penyampaian pemikiran.
“Jika ada hakim dalam hal sebuah perkara menyatakan pendapat yang berbeda, itu hal biasa. Karena beda pendapat itu bisa muncul karena sangat dipengaruhi oleh teori dan asas hukum yang dianut masing-masing hakim dalam mencermati setiap permohonan yang diajukan ke MK,” jelas Daniel.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.