JAKARTA, HUMAS MKRI – Indonesia memerlukan adanya rekonstruksi hukum tata negara darurat terutama dikaitkan dengan situasi pandemi Covid-19 saat ini. Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh saat menjadi narasumber pada kuliah umum yang diselenggarakan secara virtual oleh Fakultas Hukum Universitas Jayabaya. Kuliah umum bertema “Rekonstruksi Peraturan Pemerintah Sebagai Pengganti Undang-Undang dalam Hukum Tata Negara Darurat” yang berlangsung pada Sabtu (19/9/2020) melalui aplikasi Zoom Meeting.
“Menurut saya, kondisi ketatanegaraan kita terkait dengan hukum tata negara darurat dan khususnya tentang perppu ini perlu direkonstruksi kembali. Oleh karena tata hukum darurat menurut UUD 1945 diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 22. Dalam setiap negara, itu selalu diatur hukum tata negara dalam keadaan normal dan hukum tata negara dalam keadaan darurat. Nah ini saya rasa (negara Indonesia) perlu merekonstruksi ini karena sangat relevan dengan kondisi kekinian Indonesia,” jelas Daniel.
Dikatakan Daniel, Pasal 22 UUD 1945 yang mengatur mengenai Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang jika terdapat kegentingan yang memaksa; Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam persidangan yang berikut; serta jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah tersebut harus dicabut. Pasal 22 UUD 1945, lanjutnya, mengenai noodverordeningsrecht Presiden.
“Aturan ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan capat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan DPR. Oleh karena itu peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang, harus disahkan pula oleh DPR. Ini penjelasan resmi (Pasal 22 UUD 1945),” papar Daniel.
Kegentingan yang Memaksa
Lebih lanjut, Daniel mengatakan, merujuk Pasal 22 UUD 1945, maka presiden harus memenuhi syarat adanya ‘’kegentingan yang memaksa’’ dalam menetapkan sebuah Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perpu). “Namun Pasal 22 UUD 1945 dimaknai secara luas. Hal ini bisa dilihat dalam ratio decidendi dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009,” ujarnya.
Daniel melanjutkan kata “kegentingan” dalam Pasal 22 UUD 1945 memiliki tingkatan yang lebih berbahaya jika dibandingkan dengan Pasal 12 UUD 1945. Ia mengakui memiliki pandangan berbeda dengan pakar hukum lainnya yang menyebut bahwa Perpu bukan bagian dari Pasal 12 UUD 1945. “Saya sedikit berbeda dari mainstream ahli hukum yang menyebut Pasal 12 (UUD 1945) tidak termasuk perpu. Kegentingan (pada Pasal 22 UUD 1945) sudah pada tahap di atas berbahaya,” ujarnya.
Selanjutnya, Daniel mengungkapkan penggunaan Pasal 22 UUD 1945 tidak ditempatkan sebagai bagian dari hukum tata negara darurat selama 75 tahun usia Indonesia. Selain presiden, ia menyebut ada yang “menggunakan” Pasal 22 UUD 1945. Ia mencatat hampir seluruh presiden yang menjabat pernah mengeluarkan perpu. “Kewenangan (mengeluarkan perpu) ini memang merupakan kewenangan yang menggiurkan,” ungkapnya.
Selain itu, Daniel juga menguraikan terdapat 24 permohonan terkait pengujian perpu yang diajukan ke MK sejak 2009 silam. Dari 24 permohonan tersebut, sebanyak 19 permohonan dinyatakan tidak dapat diterima; 4 (empat) permohonan ditarik kembali; serta 1 (satu) permohonan gugur. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari