JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menjadi narasumber Kuliah Umum bertema “Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Benteng Terakhir dalam Menjaga Konstitusi Negara”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Fakultas Syariah IAIN Kudus bekerja sama dengan Mahkamah Konstitusi, pada Jumat (18/9/2020) siang secara virtual.
“Selamat kepada adik-adik sebagai mahasiswa baru Fakultas Syariah IAIN Kudus yang memasuki dunia akademis yang penuh tantangan. Buahnya, diharapkan para mahasiswa akan menjadi cendikiawan, ulama dan juga akan berperan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” ujar Wahiduddin di hadapan para petinggi IAIN Kudus, dosen-dosen maupun para mahasiswa baru Fakultas Syariah IAIN Kudus.
Wahiduddin memberikan motivasi kepada para mahasiswa baru dengan kisah perjalanan pendidikan serta sejumlah jabatan yang diamanahkan kepadanya. Wahiduddin menuturkan, setelah lulus SMA, ia melanjutkan kuliah di Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1973. Setelah meraih gelar S-1 Peradilan Islam, ia mengemban sejumlah jabatan strategis. Di antaranya menjadi pegawai Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Tenaga Perancang Peraturan Perundang-Undangan Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman (1990-1995), Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Dirjen PPU Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (2004). Kemudian ia menjabat sebagai Direktur Fasilitasi Perencanaan Peraturan Daerah (Eselon IIA) Dirjen PPU, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (2004-2010) dan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (2010-2014).
Wahiduddin juga mengajar mata kuliah Ilmu Perundang-undangan di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta (2002-sekarang) dan mata kuliah Ilmu Perundang-Undangan di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (2006-sekarang). Singkat cerita, pada 2014 ia terpilih menjadi Hakim Konstitusi yang dijalani hingga sekarang.
Terkait tema kuliah umum kali ini yakni mengenai peran MK dalam menjaga Konstitusi, terlebih dahulu Wahiduddin menerangkan pengertian Konstitusi yang secara sederhana merupakan hukum dasar negara. “Wujudnya adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kalau di negara-negara Timur Tengah, Undang-Undang Dasar disebut Dustur. Di Mesir ada Al-Mahkamah Al-Dusturiyah al-‘Ulya atau Mahkamah Konstitusi. Kewenangannya tidak jauh berbeda dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,” kata Wahiduddin yang meraih gelar S-2 Hukum Islam dan S-3 Hukum Islam di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Wahiduddin melanjutkan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang berlaku sekarang merupakan hasil amendemen pada 1999, 2000, 2001, 2002. Pada waktu pembahasan perubahan kedua UUD 1945 para anggota MPR sudah membahas mengenai kondisi peraturan perundang-undangan kita yang masih banyak warisan kolonial dan bahkan sampai sekarang masih berlaku.
“Kita lihat saja Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Acara Pidana masih warisan kolonial. Oleh sebab itu melalui putusan MPR pada waktu sidang perubahan kedua UUD 1945 disebutkan perlu diatur adanya Undang-Undang tentang Pembentukan Undang-Undang. Diperlukan aturan cara membuat undang-undang,” papar Wahiduddin.
Oleh sebab itu, Pasal 22A UUD 1945 Perubahan Kedua menyebutkan lebih lanjut mengenai ketentuan tata cara pembentukan undang-undang, hingga kemudian lahir Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kemudian menyatakan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Dalam hierarki perundang-undangan, Undang-Undang Dasar menempati posisi pertama. Selanjutnya di bawahnya ada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Hal lain dan tak kalah penting, Wahiduddin berharap agar setiap undang-undang yang dibuat tidak bertentangan dengan UUD hingga diuji ke MK. Oleh sebab itu, pembentuk undang-undang sejak awal harus punya naskah akademik, alasan-alasan dalam membuat sebuah undang-undang, termasuk alasan sosiologisnya dan sebagainya.
Oleh karena itu, menurut Wahiduddin, MK turut berperan dalam menjaga dan memelihara konstitusi. Cara menjaganya, pembuat undang-undang harus orang-orang berkualitas dan memiliki integritas. Jangan sampai membuat undang-undang maupun peraturan yang tidak dapat dilaksanakan. Di samping itu, peraturan harus dilaksanakan secara profesional oleh para penegak hukum, dari polisi, jaksa dan lain-lain. Hal lain dan tak kalah penting yaitu adanya kesadaran hukum di masyarakat.
Wahiduddin menambahkan, perubahan UUD 1945 yang paling mendasar adalah mengenai kedaulatan rakyat. Sebelum perubahan, kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Namun setelah perubahan, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Selain itu perubahan UUD 1945 mencetuskan gagasan dibentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada 2003.
“Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Hingga saat ini ada sekitar 2000 undang-undang yang diuji ke Mahkamah Konstitusi, ada yang dikabulkan, ditolak, tidak dapat diterima,” jelas Wahiduddin.
Kewenangan MK selain menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, lanjut Wahiduddin, yaitu memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilihan umum dan berkewajiban memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum atau disebut dengan pemakzulan.
Lalu bagaimana mengenai penanganan perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHP Kada)? Penanganan perkara PHP Kada merupakan kewenangan sementara atau transisi yang diemban MK. Dikatakan sementara karena dalam UUD 1945 tidak disebutkan adanya kewenangan MK menangani perkara PHP Kada.
“Sengketa hasil pilkada dilakukan oleh badan peradilan khusus. Namun sebelum badan peradilan khusus terbentuk, penanganan perkara perselisihan pilkada dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi,” tegas Wahiduddin.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Foto: Gani.