JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi narasumber dalam kuliah umum yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (FHUNIB) melalui aplikasi Zoom Meeting, pada Jumat (18/9/2020) pagi.
Mengawali paparannya, Saldi menjelaskan kekuasaan untuk menilai produk hukum, yakni Undang-Undang adalah bukti nyata untuk membangun mekanisme checks and balance antara lembaga-lembaga negara. “Kalau tadi saya menyimpulkan bahwa ada hukum acara perdata, ada hukum acara pidana, ada humum tata negara itu lebih (bertujuan) untuk kepentingan warga negara,” jelas Saldi di hadapan para peserta kuliah umum.
Akan tetapi, lanjut Saldi, hukum acara pengujian Undang-Undang (judicial review) lebih kepada menjelaskan bangunan konsep checks and balance. Lebih lanjut Saldi mengatakan, di antara 3 (tiga) cabang kekuasaan yakni cabang kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif selalu tidak bisa dipisahkan secara tegas. Menurut Saldi, apabila pada sistem parlementer, orang yang ada pada legislatif otomatis akan menjadi pemegang kekuasaan eksekutif.
Lebih lanjut Saldi mengatakan, pengujian Undang-Undang (UU) merupakan mahkota kewenangan mahkamah konstitusi. “Kunci atau kewenangan mahkota MK itu ada pada pengujjan Undang-Undang,” tegasnya.
Menurut Saldi, hal itu karena jika ada norma yang dibatalkan oleh MK, maka tidak hanya berlaku untuk pemohonnya saja, tetapi berlaku juga untuk orang yang tidak mengajukan permohonan. Tetapi untuk kasus konkret, ada hakim mengesampingkan UU yang hanya berlaku untuk kasus konkrit itu saja.
Selain itu, Saldi juga memaparkan terkait ide pembentukan MK. Ia mengatakan, dasar pembentukan MK, yakni Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 yang berisi “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Sementara kewenangan MK diatur dalam UUD 1945 pasal 24C ayat (1) dan ayat (2). Selain itu, UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 pasal 10 ayat (1) dan ayat (2). Berdasarkan ketentuan tersebut, lanjut Saldi, MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Adapun kewenangannya, yakni menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum (pemilu). Sementara kewajibannya, MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari