JAKARTA, HUMAS MKRI – Aturan mengundurkan diri bagi angggota DPR, DPD, dan DPRD jika hendak mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat 2 huruf s Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) tidak menghalangi hak seseorang untuk dipilih.
Demikian disampaikan oleh Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Oce Madril dalam sidang uji materiil UU Pilkada yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (14/9/2020). Sidang perkara Nomor 22/PUU-XVIII/2020 ini digelar dengan kehadiran para pihak secara virtual terkait dengan pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diberlakukan kembali di DKI Jakarta per 14 September 2020 ini.
Menurut Oce yang menjadi Ahli Perludem, ketentuan tersebut lahir karena adanya Putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 mengenai kewajiban mundur bagi anggota DPR, DPD, DPRD dan kepala daerah yang masih menjabat. Hal tersebut tidak menghalangi hak seseorang untuk mencalonkan diri.
“Jadi, putusan inilah yang sebenarnya menjadi dasar dari para pembentuk undang-undang untuk merumuskan ketentuan Pasal 7 ayat 2 huruf s UU 10/2016. Kemudian ketentuan ini sebenarnya tidak menghilangkan hak seseorang untuk turut serta di dalam pemerintahan. Jadi, kalau kita lihat ketentuan Pasal 7 ayat 2 huruf s itu tidak menghalangi seseorang untuk mencalonkan diri karena pada dasarnya siapapun bisa mencalonkan diri,” ujar Oce melalui aplikasi Zoom.
Dalam keterangannya, Oce melanjutkan dalam sistem pemerintahan, terdapat dua konsep pemberhentian di dalam jabatan, yakni pemberhentian atas kehendak diri sendiri serta pemberhentian yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. Menurutnya, Pasal 7 ayat 2 huruf s UU Pilkada terkait dengan dua model pemberhentian jabatan tersebut.
“Kalau kita lihat di ketentuan itu, maka seorang anggota DPR/DPRD yang mencalonkan diri, maka dia sebenarnya sudah menetapkan pilihan bahwa mereka akan mendaftarkan diri sebagai calon dalam pilkada, maka mereka mengundurkan diri secara sukarela. Jadi, ini adalah pilihan sadar sebetulnya, karena mekanisme ini sudah diketahui sejak awal,” jelas Oce.
Oce menambahkan konsep mengundurkan diri diatur oleh undang-undang berlaku bagi seorang pejabat publik itu seperti kewajiban-kewajiban yang dimiliki oleh anggota DPR, DPD, atau DPRD. Ia menyebut ketentuan a quo berlaku tidak hanya bagi anggota legislatif saja, melainkan juga bagi anggota TNI/Polri, PNS, pegawai BUMN/BUMD. Sehingga, jika ketentuan tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, maka justru bertentangan menimbulkan diskriminatif.
“Sebenarnya kewajiban ini bukanlah kewajiban yang hanya diperlakukan kepada anggota DPR dan DPRD. Sehingga kalau kemudian ketentuan Pasal 7 ayat 2 huruf s (UU Pilkada) itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat atau bertentangan dengan UUD 1945, maka anggota DPR dan DPRD akan memiliki keistimewaan dan berbeda dari jabatan-jabatan yang lain,” papar Oce.
Kesetaraan Politik
Sementara itu Direktur Perludem Titi Anggraini yang juga hadir sebagai Ahli Pihak Terkait mengatakan, ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada haruslah dimaknai sebagai konstruksi hukum untuk mewujudkan demokrasi yang menjamin kesetaraan politik sebagaimana pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 silam. Memurutnya, kesetaraan politik itu bukan hanya dengan anggota TNI, Polri dan Aparatur Sipil Negara, namun juga dengan jabatan politik di pemerintahan daerah lainnya.
Menurut Titi, peraturan tersebut dapat ditemui dalam Pasal 240 ayat (1) huruf k UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang juga mensyaratkan kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk mengundurkan diri apabila yang bersangkutan menjadi bakal calon anggota DPR dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota.
Sebelumnya, Pemohon yang terdiri dari Anwar Hafid yang merupakan anggota DPR RI dan Arkadius Dt. Intan Baso merupakan anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat. Para Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 7 ayat 2 huruf s UU Pilkada yang mengatur mengenai kewajiban pengunduran diri bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD jika hendak mencalonkan diri dalam Pilkada. Pemohon menilai secara konseptual anggota DPR, DPD, DPRD dan jabatan kepala daerah merupakan satu kesatuan rumpun jabatan yaitu "jabatan politik" sehingga anggota legislatif yang berkeinginan atau mendapatkan amanah dari rakyat untuk mencalonkan diri dalam jabatan kepala daerah seharusnya tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Fitri Yuliana