JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjadi narasumber dalam acara seminar 17 Tahun Mahkamah Konstitusi (MK) Upaya Meningkatkan Kualitas Putusan Mahkamah Konstitusi yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH UNDIP) pada Jumat (11/9/2020) secara virtual melalui aplikasi Zoom.
Dalam acara tersebut, Arief mengatakan bahwa hakim konstitusi memiliki pemikiran yang berbeda-beda. Putusan yang berkualitas, selain sebagai mahkota hakim, juga merupakan mutiara bagi pencari keadilan. Artinya, putusan yang berkualitas merupakan cerminan kepiawaian dan kemampuan hakim sebagai ahli-ahli hukum terpilih dalam memberi jawaban dan solusi atas suatu problem konstitusional yang dikemas dalam perkara. Dari waktu ke waktu, MK berupaya mewujudkan putusan berkualitas menjadi episentrum dari aktivitas seluruh komponen. Upaya itu menjadi upaya berseri yang harus berkelanjutan dilakukan dari periode ke periode.
Arief mengatakan, putusan berkualitas sama sekali tidak dipretensikan untuk dapat memuaskan para pihak. “Putusan MK tidak selalu memuaskan semua pihak,” ujar Arief. Dengan terpenuhinya syarat-syarat tersebut, MK dengan segenap putusannya akan dapat terus turut berkontribusi menata politik, hukum, dan ketatanegaraan sekaligus meninggikan peradaban konstitusionalisme Indonesia.
Kemudian, lanjut Arief, putusan MK yang berkualitas itu sekurang-kurang memiliki syarat tegas memberikan kepastian hukum yang berkelanjutan, dapat dipertanggungjawabkan secara moral, ideologis, yuridis, dan ilmiah berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. Selain tiu, putusan juga harus mampu menyelesaikan secara tuntas persoalan konstitusionalitas secara tuntas dan dapat diimplementasikan. Lebih lanjut, putusan MK yang berkualitas hanya akan lahir dan mengalir dari pertimbangan hukum yang mantap.
Berkenaan dengan hal ini, pertimbangan hukum putusan harus mengandung dimensi berikut, ialah dibangun melalui proses pendayagunaan pengetahuan hukum yang didukung oleh penguasaan konstitusi dan ketatanegaraan, sehingga menang ketika didebat oleh siapapun. Selain merupakan respek profesional dari hakim konstitusi sebagai ahli-ahli hukum terbaik dari hasil dialektika pengetahuan hukum dan fakta persidangan untuk menjaga constitutional values. Juga berfungsi menjelaskan pada titik mana problem konstitusional norma UU yang diuji sekaligus memandu bagaimana putusan dilaksanakan, dan menjadi ruang pembuktian bahwa putusan merupakan hasil proses pendayagunaan pengetahuan hukum dan konstitusi, bukan mengandalkan kemerdekaan diskresi.
Menurut Arief, Putusan MK yang berkualitas dapat diwujudkan dengan dua cara, yaitu hakim konstitusi yang memiliki integritas moral dan keilmuan hukum yang memadai dan aspek dukungan substansial dan administratif peradilan yang memiliki daya dukung optimal. Pada cara pertama, secara umum, hakim konstitusi dipandang memenuhi persyaratan utama, yaitu menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Dengan demikian, hakim konstitusi memiliki jawaban atas segala problem konstitusional yang diajukan dalam perkara, sekurang-kurangnya mempunyai ikhtiar dengan metode yang terukur dan akuntabel untuk menggali dan menemukan hukum suatu perkara. Hal itu berarti putusan dibuat dengan pertimbangan hukum yang matang, meminimalisir celah, dan menang ketika didebat oleh siapapun. “Untuk itu, sekalipun dipandang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, hakim konstitusi merupakan manusia pembelajar untuk terus mendorong lahirnya fresh judgement yang bernilai landmark decision, sehingga putusannya bukan cuma tampilan dari hasil keterampilan teknis tukang (legal craftsmanship) dan ahli menerapkan hukum (legal mechanic), tetapi mempunyai dimensi aktual dan kritis untuk mengubah keadaan menjadi lebih adil,” sebut Arief.
Arief menegaskan untuk dapat mencapai putusan berkualitas, hakim konstitusi mustahil dapat bekerja sendirian. Diperlukan daya dukung dari supporting system yang memungkinkan hakim konstitusi mengakses secara mudah segala data dan informasi yang berkaitan dengan aktivitas mengadili dan memutus perkara. Menurutnya, hal tersebut menandakan, daya dukung supporting system menjadi sangat signifikan perannya, tanpa harus mereduksi atau mengintervensi kewenangan, independensi, dan tanggung jawab hakim konstitusi dalam memutus perkara.
Secara umum, lanjutnya, upaya mewujudkan putusan yang berkualitas tersebut telah mendorong MK sejak awal memberikan atensi pada upaya melakukan perbaikan terhadap manajemen dan administrasi peradilan, khususnya berkaitan langsung denganpenanganan perkara. Hasil yang dapat dilihat kasat mata, upaya perbaikan tersebut membentuk lembaga serta proses peradilan konstitusi yang berintegritas, transparan, dan akuntabel dengan kualitas putusan yang selalu dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis dan ideologis selaras dengan UUD 1945 dan Pancasila.
“Bagi saya, hal tersebut merupakan langkah paling tepat. Setidaknya, penataan manajemen dan administrasi peradilan MK selama 17 tahun ini menjumpai keberhasilan salah satunya berupa public trust. Kepercayaan publik terhadap MK antara lain karena putusan MK yang berkualitas, betapapun MK tak hendak berhenti dan berpuas diri pada titik ini,” tutup Arief.
Sementara Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH UNDIP) Retno Saraswati saat membuka seminar nasional tersebut mengatakan Indonesia sebagai negara hukum harus tunduk terhadap konstitusi. “Sifat putusan MK itu final. Putusan MK mempunyai kekuatan hukum tetap. Karena tidak ada upaya hukum lagi, maka kualitas putusan MK harus baik,”ujarnya.
Sedangkan sifat final putusan MK mempunyai beberapa indikator mengenai putusan MK. Menurutnya, indikator tersebut harus mengandung rasa keadilan, harus punya solusi. Jika putusan menimbulkan keresahan, maka harus ditinjau ulang. Putusan dapat dilaksanakan putusan MK ini harus dipatuhi. Putusan ini jangan sampai tersumbat,” tegasnya. Upaya meningkatkan kualitas putusan MK yang sudah diputuskan, menurutnya MK dapat merevisi putusan MK kembali. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari