JAKARTA, HUMAS MKRI - Jika memperhatikan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian), maka pengaturan yang ideal untuk memasarkan produk baru perasuransian adalah cukup mengajukan permohonan izin produk kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK tidak perlu menerbitkan peraturan otoritas yang khusus untuk setiap produk atau lini usaha perluasan perasuransian. Hal tersebut diungkapkan Kornelius Simanjuntak dalam kapasitasnya sebagai Ahli yang dihadirkan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (Pemohon) pada sidang lanjutan pengujian UU Perasuransian pada Kamis (10/09/2020).
Sidang kedelapan untuk perkara yang diregistrasi dengan Nomor 5/PUU-XVIII/2020 ini beragendakan Mendengarkan Keterangan Ahli Pemohon dan Ahli yang dihadirkan Mahkamah. Pada permohonan ini, Pemohon mendalilkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian bertentangan dengan UUD 1945.
“Jika dianalisis lebih dalam lagi, perluasan usaha ini seharusnya diatur dalam UU Perarusansian agar ada kesetaraan bagi pelaku usaha dan perusahaan asuransi dengan perusahaan penjaminan,” jelas Kornelius yang merupakan Ahli Hukum Perasuransian dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Lebih lanjut Kornelius mengatakan ketentuan ruang lingkup asuransi dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat, baik usaha asuransi umum, jiwa, dan syariah sekalipun. Perluasan usaha yang dimaksud dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Tetapi adanya ketentuan lebih lanjut terkait perluasan usaha yang diatur Peraturan OJK, baik dari segi macam, jenis, dan lini usaha, telah berakibat kepada tertutup dan kakunya produk perasuransian. Menurut Kornelius, hal ini juga berakibat pada produk asuransi karena tidak dapat mengikuti kemajuan bidang usaha yang bersifat dinamis.
Menghindari Risiko Ketidakpastian
Sementara itu, Irvan Rahardjo yang merupakan praktisi isu perasuransian selaku Ahli yang dihadirkan MK mengungkapkan bahwa asuransi adalah ikhtiar manusia dari mengurangi risiko dan mengambil keuntungan dari pengumpulan dana dengan janji memberikan manfaat untuk menghindari risiko ketidakpastian. Berkaitan dengan permohonan Pemohon, Irvan mengungkapkan izin penerbitan perluasan usaha berupa suretybond hanya diberikan pada Asuransi Jasa Raharja. Namun, seiring perkembangan waktu dan kebutuhan masyarakat, izinnya diperluas pada 22 perusahaan perasuransian.
“Suretybond adalah salah satu produk inovatif dari perusahaan asuransi sebagai upaya pengambilalihan risiko kerugian yang mungkin dapat dialami oleh pemilik proyek atas kepercayaan yang diberikan pada kontraktor dengan ketentuan yang disepakati,” terang Irvan di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK.
Baca Juga:
Status Usaha Suretyship Tidak Jelas, Asosiasi Asuransi Gugat UU Perasuransian
Pemohon Uji UU Perasuransian Pertegas Argumentasi Kedudukan Hukum
Peran Pemerintah Mendorong Kapasitas Asuransi
DPR Kembali Berhalangan Hadir, Sidang Uji UU Perasuransian Ditunda
OJK: Lini Usaha Suretyship Boleh Dilakukan Perusahaan Penjaminan maupun Asuransi
DPR: UU Perasuransian Telah Mencakup Perluasan Usaha Suretyship
Suretyship Mudahkan Kontraktor Untuk Pembiayaan Proyek
Pada sidang pendahuluan, Pemohon menyebut lini usaha suretyship sebagai perluasan usaha asuransi. Pelaksanaan suretyship hanya didasarkan pada norma tersebut yang memberikan wewenang kepada OJK untuk melakukan perluasan ruang lingkup. Dalam pandangan Pemohon, hal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Pemohon juga mendalilkan pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekutan hukum sepanjang tidak dimaknai “mencantumkan suretyship sebagai perluasan jenis usaha asuransi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.”
Di akhir persidangan, Anwar menyampaikan agar semua pihak mengajukan kesimpulan paling lambat pada Jumat, 18 September 2020 ke Kepaniteraan MK.
Penulis : Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas : Raisa Ayuditha