JAKARTA, HUMAS MKRI – Dalam situasi pandemi Covid-19 terdapat 11 negara dalam kontitusinya yang mencantumkan situasi epidemi secara implisit, seperti Macedonia, Georgia dan lainnya. Satu-satunya negara yang menyebut situasi pandemi dalam konstitusinya adalah Turki. “Epidemi adalah keadaan darurat mewabah hanya pada satu negara tertentu. Kalau pandemi, sudah melintasi negara, bahkan melintasi benua,” ujar Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh selaku keynote speaker seminar bertema “Mempertahankan Stabilitas Keuangan dalam Masa Pandemi Covid-19 Berkaitan dengan Hak Sosial Warga” yang diselenggarakan Universitas Katolik Darma Cendika (UKDC) Surabaya pada Sabtu (22/8/2020) melalui webinar.
Daniel mencontohkan ketika terjadi keadaan darurat di Korea Selatan, Presiden boleh menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) yang berlaku hanya dalam keadaan darurat. Ketika situasi kembali normal, maka undang-undang yang tadinya diubah jadi perpu, kembali berlaku. Bagaimana dengan Indonesia? Pasal 12 UUD 1945 menjadi norma terkait dengan keadaan bahaya. Sementara Pasal 22 UUD 1945 menyebutkan sebuah keadaan genting atau istilah yang dipakai adalah kegentingan yang memaksa.
“Jadi ada keadaan bahaya dan keadaan genting,” kata Daniel dalam acara yang dihadiri Rektor UKDC Surabaya Y. Budi Hermanto, Dekan Fakultas Hukum UKDC Surabaya Dian Ety Mayasari, para pakar, akademisi maupun masyarakat umum.
Dikatakan Daniel, substansi perpu terdapat dalam Pasal 22 UUD 1945 yang terdiri atas tiga ayat. Ayat pertama, dalam hal kegentingan yang memaksa. Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Ayat kedua, peraturan pemerintah harus mendapat persetujuan DPR. Ayat ketiga, jika tidak mendapat persetujuan DPR, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
“Saya kira, saya akan fokus pada Pasal 22 saja. Walaupun mainstream para ahli hukum saat ini selalu memisahkan Pasal 22 dengan Pasal 12. Jadi Pasal 12 itu ada yang mengklasifikan dalam keadaan perang. Sedangkan Pasal 22 fokus pada emergency law,” ucap Daniel yang membawakan materi “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam Desain Hukum Tata Negara Darurat”.
Daniel melanjutkan, dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, semua Presiden tanpa kecuali menggunakan kewenangan sesuai Pasal 22 UUD 1945. Bahkan ada dua pejabat Presiden yang menggunakan kewenangan tersebut. Pertama adalah pejabat Presiden Juanda yang menetapkan 24 perpu. Kedua adalah pejabat Presiden Asaat Datuk Mudo di masa Konstitusi RIS menetapkan 6 perpu.
“Dalam catatan saya, Presiden Joko Widodo kurang lebih sudah menetapkan 5 perpu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan 19 perpu, Presiden Megawati menetapkan 4 perpu, Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan 3 perpu dan Presiden Habibie menetapkan 3 perpu, Presiden Soeharto menetapkan 8 perpu, Presiden Soekarno menetapkan 143 perpu. Jadi total perpu berdasarkan hasil penelitian saya pada 2011 ada 215 perpu,” papar Daniel.
Pertanyaannya adalah, apakah perpu-perpu yang sudah dikeluarkan tersebut benar-benar memenuhi syarat kegentingan memaksa? Dalam praktik, ungkap Daniel, kewenangan menetapkan perpu merupakan kewenangan subjektif konstitusional yang diberikan kepada Presiden. Kemudian untuk menentukan kegentingan memaksa itu merupakan hak subjektif, semua tergantung kepada subjektivitas Presiden. Dalam perkembangannya, ketika ada Perpu No. 4/2009 yang diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Selanjutnya MK mengeluarkan kriteria kegentingan memaksa sebagai indikator kalau Presiden ingin menetapkan perpu.
“Dalam praktik selama ini tidak selalu perpu dikaitkan dengan keadaan bahaya atau darurat sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945. Karena tidak pernah dikaitkan, memberi kesan bahwa kegentingan memaksa tidak harus darurat. Meski banyak pertanyaan muncul, apakah boleh perpu mengubah undang-undang kalau keadaannya tidak darurat? Kalau misalnya perpu dikeluarkan, sementara keadaan tidak darurat, orang mempertanyakan di mana aspek kedaulatan rakyat. Hakekatnya, sebuah undang-undang harus memberi ruang bagi partisipasi masyarakat. Setidak-tidaknya melalui parlemen. Dengan kata lain, harus mendapat persetujuan dari DPR,” urai Daniel.
Kewenangan Menetapkan Perpu
Daniel juga mencermati kewenangan DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sedangkan dalam Pasal 22 UUD 1945 disebutkan Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang, ada kepentingan negara sehingga Presiden diberikan kewenangan untuk menetapkan perpu.
“Dengan demikian ada nomenklatur membentuk dan menetapkan, sebagai dua hal yang berbeda. Karena selama ini perpu itu sudah dihierarkikan. Kedudukan perpu pernah sejajar dengan undang-undang, pernah di bawah undang-undang dan sekarang kedudukan perpu kembali sejajar dengan undang-undang,” imbuh Daniel.
Regulasi Penanganan Covid-19
Selain itu Daniel menyebutkan regulasi terkait penanganan Covid-19 yakni UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Perpu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabillitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, Perpres No. 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Keppres No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional serta Inpres No. 4 Tahun 2020 tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran, serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Penanganan Covid-19.
Lebih lanjut Daniel menerangkan bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) merupakan bagian dari hak asasi manusia. Merujuk kategorisasi oleh Karel Vasak, terdapat tiga generasi pemikiran hak asasi manusia yaitu generasi pertama yang memiliki hak sipil dan politik. Generasi kedua yang mempunyai hak ekonomi, sosial dan budaya. Generasi ketiga yang memiliki hak atas pembangunan dan solidaritas atau rekonseptualisasi dari generasi pertama dan generasi kedua.
Dalam kaitannya dengan penanganan situasi darurat Covid-19 dan perlindungan hak-hak ekosob, Daniel mempertanyakan dapatkah kasus pelanggaran hak-hak ekosob dibawa ke pengadilan? Daniel menjelaskan bahwa Pasal 2 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menyebutkan, “Setiap negara pada kovenan ini berjanji untuk mengambil langkah-langkah secara individu dan melalui bantuan maupun kerja sama internasional terutama ekonomi, semaksimal mungkin dari sumber daya yang tersedia. Tujuannya untuk mencapai secara progresif realisasi penuh dari hak-hak yang diakui dalam kovenan ini dengan cara yang tepat, khususnya penerapan tindakan legislatif”. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari