JAKARTA, HUMAS MKRI – Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebagai identitas perpajakan debitur tetap dibutuhkan meskipun debitur telah dinyatakan pailit. Hal tersebut disampaikan oleh Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun dalam sidang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Selasa (18/8/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, Misbakhun menyampaikan bahwa dengan diterapkannya sistem self assessment pajak, penghapusan NPWP berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP dimungkinkan berdasarkan permohonan yang diajukan oleh wajib pajak dan/atau ahli warisnya itu sendiri. "Atau terdapat kondisi lain seperti wajib pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha wajib pajak, bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia, atau dianggap perlu dihapuskan oleh dirjen pajak karena wajib pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan," ujar Misbakhun.
Menurutnya, UU KUP tidak mengatur ketentuan norma lain terkait dalam penghapusan NPWP di luar dari pengaturan pasal tersebut. Selain itu, Ia mengatakan, kepailitan PT. United Coal Indonesia (PT UCI) telah berakhir pada 13 Februari 2019 dan telah dimohonkan pengumuman berakhirnya kepailitan PT UCI dalam Berita Negara pada 18 Februari 2019. Dan dalam permohonan, Pemohon tidak menjelaskan apakah PT UCI telah berakhir atau masih beroperasi. Apabila status badan hukum PT UCI belom berakhir maka tidak ada perubahan kepengurusan. Posisi Pemohon kembali menjadi pengurus PT UCI dan bertanggung jawab atas hak dan kewajiban PT UCI termasuk kewajiban atas pajak terutang kepada negara. Sehingga secara logika hukum, tugas dan tanggung jawab kurator untuk mengurus dan membereskan harta pailit PT UCI telah berakhir.
Misbakhun menegaskan, kantor pajak telah sepatutnya melakukan penagihan kepada Pemohon dan bukan kepada kurator. Dengan demikian, kerugian negara yang didalilkan oleh Pemohon tersebut bukan kerugian yang diakibatkan oleh berlakunya pasal-pasal tersebut yang diajukan oleh pemohon. "Sehingga, tidak terdapat hak atau kewenangan konstitusi Pemohon yang dirugikan, "ujarnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, dengan adanya pergantian wakil wajib pajak badan dalam pailit dari pengurus menjadi kurator tidak menyebabkan pengurus dapat melepas tanggung jawab atas utang pajak yang muncul ketika perseroan masih dalam masa kepengurusannya. Walaupun wajib pajak badan mengalami kepailitan, penanggung jawab atas wajib pajak badan tersebut tetaplah pengurus yang menjalankan perseroan tersebut yang menyebabkan munculnya utang pajak. Namun selama masa kepailitan, pembayaran sebagian utang pajak yang dilunasi dari boedel pailit dilakukan oleh wajib pajak badan yang pailit, yakni kurator.
Hal yang sama dikatakan oleh pemerintah yang diwakili oleh Dirjen Pajak Suryo Utomo. Suryo mengatakan, pajak sebagai kontribusi wajib dan konsekuensi sistem self assessment. Walaupun pelunasan pajak bersifat wajib dan memaksa, namun di sisi lain, pemenuhannya menggunakam sistem self assessment, yang mana wajib pajak diberi kepercayaan oleh negara untuk mendaftarkan diri, menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajaknya dalam surat pemberitahuan. Dengan demikian, untuk memastikan kepatuhan sukarela atau voluntary complaints wajib pajak dilaksanakan dengan benar, maka dibutukan pengawasan yang optimal dari aparat pajak.
Menurut Pemerintah, alasan Pemohon untuk menyatakan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang KUP tidak mudah dipahami adalah karena menurut Pemohon dapat menimbulkan dua tafsir terkait wakil wajib pajak yang pailit, yaitu kurator yang melakukan pemberesan harta pailit dan pengurus atau direktur yang bertanggung jawab secara pribadi dan/atau renteng.
Sedangkan alasan Pemohon untuk menyatakan Pasal 2 ayat (6) Undang-Undang KUP mustahil untuk diikuti karena Pemohon merasa sebagai direktur suatu perusahaan yang telah pailit dan kehilangan hak pengurusan atas harta-harta perusahaan adalah hal yang mustahil untuk melakukan penghapusan NPWP perusahaan secara self assessment. Kedua hal ini membuat Pemohon merasa diperlakukan tidak adil dan tidak dijamin kepastian hukumnya.
“Pemohon dalam mempermasalahkan kriteria-kriteria tersebut selalu mendasarkan argumennya pada peraturan perundang-undangan lainnya yang berada di ranah hukum privat, yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas atau Undang-Undang PT, maupun Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban dan Pembayaran Utang, Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Sehingga pada akhirnya fokus dalam uji materi ini adalah terkait apakah benar terdapat kontradiksi antara pengaturan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang KUP jika dibandingkan dengan pengaturan pada Undang-Undang PT maupun Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, “tegas Suryo.
Baca Juga…
Terbebani Tagihan Pajak Perseroan Pailit, UU KUP Diuji
Pemohon Uji UU KUP Pertajam Identitas
Sebelumnya, permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 41/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Taufik Surya Dharma. Pemohon menguji Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU No. 28/2007 yang mana pemohon merupakan mantan Pengurus PT. United Coal Indonesia (PT UCI) yang sudah dinyatakan pailit melalui putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Tahun 2015 silam. Pemohon keberatan dengan berlakunya Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU 28/2007. Menurut pemohon, kedua pasal tersebut telah dijadikan dasar oleh KPP Wajib Pajak Besar Satu untuk melakukan penagihan pajak PT. UCI yang dibebankan kepada Pemohon secara pribadi dengan jumlah yang sangat fantastis sebesar Rp. 193.625.721.483,00 hanya karena NPWP Badan atas nama PT. UCI (dalam pailit) belum dihapus. Padahal, perusahaan tersebut sudah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan seluruh boedel harta pailit dilakukan pemberesan oleh Kurator.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Annisa Lestari
Fotografer: Gani