JAKARTA, HUMAS MKRI – Rencana PT Pertamina (Persero) melakukan pelepasan sebagian saham anak usaha melalui mekanisme penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) dipersoalkan oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam permohonan Nomor 61/PUU-XVIII/2020, FSPPB yang diwakili oleh Arie Gumilar selaku Presiden dan Dicky Firmansyah selaku Sekjen menguji Pasal 77 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). Pemohon menilai pasal tersebut memiliki makna ambigu dan multitafsir, sehingga membuka peluang privatisasi anak perusahaan Pertamina.
Dalam sidang perdana yang digelar pada Senin (10/8/2020), Pemohon yang diwakili Janses E. Sihaloho berdalih bahwa PT. Pertamina merupakan perusahaan persero yang berdasarkan Akta Perubahan Anggaran Dasar Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Pertamina Nomor 27 tanggal 19 Desember 2016 memiliki kegiatan usaha di bidang penyelenggara usaha energi. Hal ini menyebabkan PT Pertamina termasuk perusahaan persero yang dilarang untuk diprivatisasi berdasarkan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN. Bisnis PT. Pertamina terintegrasi dari hulu ke hilir, yaitu mulai proses hulu/eksplorasi/upstream, pengolahan/kilang/refinery, pemasaran/marketing & trading, dan distribusi/transportasi & perkapalan.
Diungkapkan Pemohon, Pemerintah dalam rangka strategi menguatkan daya saing, peningkatan nilai, perluasan jaringan usaha dan kemandirian pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dapat membentuk perusahaan induk BUMN/Perusahaan Grup/Holding Company. Salah satu tindakan nyatanya adalah membentuk dan menetapkan Subholding dan Anak Perusahaan PT. Pertamina. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Direksi Pertamina Nomor Kpts-18/C00000.2020-SO tentang Struktur Organisasi Dasar PT. Pertamina, yaitu Subholding Upstream, Refining & Petrochemical, Comercial & Trading, Gas, Power & NRE, dan Shipping Co. Privatisasi telah direncanakan oleh Pemerintah yang akan melakukan Initial Public Offering (IPO) kepada anak dan cucu usaha PT. Pertamina di level subholding. PT. Pertamina sendiri memiliki anak-anak perusahaan, seperti PT. Pertamina EP, PT. Pertamina Hulu Energi, PT. Pertamina Geothermal Energy, PT. Pertamina Drilling, PT. PGN. Anak Perusahaan tersebut melakukan pengelolaan sumber daya alam yang memiliki kegiatan usaha yang sama dengan induk perusahaannya, yaitu PT. Pertamina (Persero).
Menurut Pemohon, bisnis subholding anak perusahaan PT. Pertamina dilakukan di seluruh bisnis inti PT Pertamina dari hulu ke hilir sehingga bisnis inti Pertamina menjadi anak perusahaan Pertamina. Terbentuknya subholding tersebut membuka peluang perusahaan untuk melantai di bursa. Dengan demikian, tidak diaturnya perusahaan milik persero/anak perusahaan persero dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN menyebabkan perusahaan milik persero/anak perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas biasa tidak dilarang untuk diprivatisasi. Padahal perusahaan milik persero/anak perusahaan melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal a quo. Pemohon mendalilkan hal tersebut menyebabkan dirugikannya hak konstitusional Pemohon.
“(Ketiadaan aturan tersebut) Membuka peluang bagi anak perusahaan PT. Pertamina (Persero) untuk diprivatisasi sehingga negara kehilangan kekuasaannya untuk menguasai sumber daya alam migasnya dan menguasai cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta menjadi ancaman terhadap kelangsungan bisnis dan eksistensi dari PT. Pertamina (Persero) maupun anak-anak perusahaannya akibat potensi terjadinya privatisasi, yang seharusnya dilarang untuk diprivatisasi karena bergerak di bidang usaha pengelolaan sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan masyarakat,” ujar Janses di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Pemohon menilai hal tersebut berdampak pada kualitas hidup dan kesejahteraan pegawai perusahaan Grup PT. Pertamina (Persero)/BUMN beserta keluarganya akan tidak terjamin apabila anak-anak perusahaan PT. Pertamina (Persero)/BUMN tidak dikontrol dengan baik oleh negara. Sumber daya alam, air, bumi dan segala isinya yang seharusnya dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat berpotensi tidak terwujud, sebab dikelola dan dikuasai oleh swasta/perorangan sehingga hanya untuk sebesar-besarnya kemakmuran swasta/perorangan.
Gabungkan Fakta Hukum dan Alasan Permohonan
Terkait permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan kepada kuasa hukum Pemohon bahwa dalam struktur pengajuan permohonan tidak perlu dipisahkan antara fakta hukum dan alasan mengajukan permohonan. “Jangan menambah bagian baru yang sebetulnya tidak dikenal dalam struktur permohonan pada Mahkamah Konstitusi. Tolong dipikirkan bagaimana menggabungkan antara fakta hukum dan alasan-alasan mengajukan permohonan,” ujar Saldi.
Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menasehati agar Pemohon mempelajari tentang Kewenangan Mahkamah yang terdapat dalam Peraturan MK. Selain itu dalam petitum agar Pemohon mencantumkan kata “bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat”. Hal lainnya, agar Pemohon memberi penjelasan dalam permohonan mengenai definisi persero.
Selanjutnya Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul meminta Pemohon agar menambah sejumlah undang-undang lain dalam Kewenangan Mahkamah yang dimaksud untuk memperkuat permohonan Pemohon. Manahan juga mencermati dalam Kewenangan Mahkamah ada istilah baru rejudicial review atau menguji undang-undang kembali karena norma yang diuji belum menyangkut pokok persoalan. Istilah baru itu, menurut Mahkamah, perlu diperjelas lagi seperti yang dimaksud Pemohon.
Pemohon diberikan waktu 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan permohonan. Selambatnya Pemohon dapat menyerahkan perbaikan permohonan pada 24 Agustus 2020. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Lambang S.
Fotografer: Ifa DS.